Pendahuluan tentang Perumpamaan
Perumpamaan Anak yang Hilang, yang ditemukan dalam Lukas 15:11-32, adalah salah satu kisah paling terkenal dalam Alkitab Suci. Kisah ini menawarkan pelajaran mendalam yang relevan untuk kehidupan kita saat ini, menggambarkan perjalanan seorang pemuda yang meninggalkan rumah ayahnya, menghamburkan warisannya, dan kembali dengan penuh penyesalan setelah menghadapi kesulitan. Kisah ini berbicara tentang kehilangan, penebusan, dan kasih tanpa syarat dari Allah.
Yesus melanjutkan: “Ada seorang yang mempunyai dua anak laki-laki. Yang bungsu berkata kepada ayahnya, ‘Bapa, berikanlah kepadaku bagian warisan yang menjadi hakku.’ Maka ayahnya membagi harta miliknya di antara mereka.” (Lukas 15:11-12, TB)
Makna “Anak yang Hilang”
Istilah “anak yang hilang” merujuk pada seseorang yang, setelah menjalani kehidupan yang sembrono, boros, dan penuh pemborosan, kembali ke keluarga atau rumahnya. Perumpamaan Anak yang Hilang adalah bagian dari tiga perumpamaan tentang kehilangan dan penebusan, menekankan kembalinya anak tersebut ke rumah ayahnya.
Keputusan Anak yang Hilang
Dalam perumpamaan ini, anak bungsu meminta bagian warisannya kepada ayahnya. Sang ayah, menghormati p A sang ayah, menghormati pilihannya, membagi harta antara kedua anaknya. Tindakan impulsif pemuda ini mencerminkan keinginan untuk mandiri, namun tanpa kematangan yang diperlukan untuk mengelola apa yang diterimanya.
Bahaya Berkat di Luar Waktu Tuhan
Kisah ini mengajarkan pentingnya menunggu waktu Tuhan. Menerima berkat sebelum waktunya dapat mengubahnya menjadi kutukan, seperti yang dialami pemuda ini.
Untuk segala sesuatu ada waktunya, dan untuk apa saja di bawah langit ada saatnya. (Pengkhotbah 3:1, TB)
Harta yang cepat diperoleh pada permulaan, akhirnya tidak diberkati. (Amsal 20:21, TB)
Ketika pemuda itu menerima warisannya, ia tidak siap untuk mengelolanya. Apa yang seharusnya menjadi berkat menjadi sumber masalah karena pengelolaannya yang buruk. Prinsip ini berlaku bagi kita: meminta sesuatu kepada Allah tanpa kesiapan dapat menyebabkan masalah serius.
Sebagai contoh, bayangkan meminta mobil kepada Allah, tetapi tidak memiliki SIM. Meskipun mobil itu diberikan, kurangnya persiapan dapat menyebabkan kecelakaan, merugikan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, kita harus mencari berkat dengan keyakinan bahwa Allah tahu waktu yang tepat untuk memberikannya.
Konsekuensi dari Ketidaktaatan
Setelah menerima warisannya, anak yang hilang meninggalkan rumah ayahnya dan pergi ke negeri yang jauh, di mana ia menghamburkan segalanya dalam kehidupan yang sembrono. Pilihannya membawanya pada kesulitan besar.
Setelah ia menghabiskan semuanya, timbullah bencana kelaparan di negeri itu dan ia mulai kekurangan. Maka pergilah ia dan bekerja pada seorang penduduk negeri itu, yang menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babi. (Lukas 15:14-15, TB)
Ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang dimakan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikannya kepadanya. (Lukas 15:16, TB)
Jauh dari ayahnya, pemuda itu sampai pada keadaan sangat membutuhkan, bahkan ingin memakan makanan babi. Situasi ini mencerminkan apa yang terjadi ketika kita menjauh dari Allah: kita kehilangan penyediaan, perhatian, dan keintiman-Nya, menghadapi kematian rohani dan kelangkaan.
Peran Pengaruh Buruk
Seringkali, keputusan untuk meninggalkan kehadiran Allah dipengaruhi oleh pergaulan buruk atau teman palsu yang menyesatkan kita dari jalan Tuhan.
Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik. (1 Korintus 15:33, TB)
Saat berada di rumah ayahnya, pemuda itu memiliki segala yang dibutuhkannya. Ketika ia pergi, ia menemukan bahwa “teman-teman” yang mengelilinginya menghilang setelah warisannya habis. Ini mengingatkan kita bahwa teman sejati kita adalah Allah, Bapa kita, yang tidak pernah meninggalkan kita.
Pertobatan dan Kembali
Di tengah kesulitan, anak yang hilang teringat akan kehidupan di rumah ayahnya. Ia menyadari kesalahannya dan memutuskan untuk kembali, bersedia menjadi hanya seorang hamba.
Lalu ia sadar dan berkata: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya berlari mendapatkan dia lalu memeluk dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Cepat, bawa kemari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya, dan ambillah anak lembu yang gemuk, sembelihlah dia, marilah kita makan dan bersukacita, sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukacita. (Lukas 15:17-24, TB)
Sang ayah, yang tergerak oleh kasih dan belas kasihan, tidak hanya menerima anaknya kembali tetapi juga memulihkannya sebagai anak, merayakan kembalinya. Sikap ini mencerminkan hati Allah, yang bersukacita ketika seorang berdosa bertobat.
Reaksi Anak Sulung
Perumpamaan ini juga memperkenalkan anak sulung, yang tetap tinggal di rumah ayahnya tetapi bereaksi dengan kemarahan ketika melihat perayaan untuk kembalinya adiknya.
Tetapi anaknya yang sulung sedang di ladang. Ketika ia pulang dan mendekati rumah, ia mendengar bunyi seruling dan tarian. Ia memanggil salah seorang hamba, lalu bertanya kepadanya apa yang terjadi. Kata hamba itu kepadanya: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu yang gemuk, karena ia mendapatkannya kembali dengan sehat. Tetapi ia marah dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku mendurhakai perintah bapa, tetapi kepada aku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah menghabiskan harta bapa dengan pelacur-pelacur, bapa menyembelih anak lembu yang gemuk itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Tetapi kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. (Lukas 15:25-32, TB)
Anak sulung, meskipun secara fisik berada di rumah ayahnya, menunjukkan hati yang keras, tidak mampu memaafkan atau bersukacita atas pemulihan adiknya.
Pelajaran dari Perumpamaan
Perumpamaan Anak yang Hilang mengajarkan tiga peran berbeda:
- Anak yang Hilang: Mewakili mereka yang, karena ketidakdewasaan atau pilihan salah, menjauh dari Allah tetapi memiliki kesempatan untuk bertobat dan kembali.
- Anak Sulung: Melambangkan mereka yang, meskipun berada dalam kehadiran Allah, bisa jatuh ke dalam perangkap penghakiman dan ketidakmampuan untuk memaafkan.
- Sang Ayah: Mencerminkan hati Allah, yang menyambut, memaafkan, dan merayakan kembalinya mereka yang tersesat.
Allah memanggil kita untuk menjadi seperti sang ayah: pemaaf, penuh kasih, dan bersukacita atas pemulihan saudara kita. Ia tidak melihat kesalahan masa lalu, tetapi hati yang bertobat.
Panggilan untuk Kembali
Jika kamu pernah menjauh dari rumah Bapa, ketahuilah bahwa kembali bukanlah hal yang memalukan. Mengakui kesalahan dan kembali adalah tindakan keberanian dan iman. Perumpamaan ini mengingatkan kita bahwa waktu untuk kembali adalah sekarang, karena besok milik Allah.
Jangan menunggu untuk menghargai kehadiran Allah hanya dalam ketiadaan-Nya. Berserulah hari ini: “Bapa, ampuni aku, pulihkan aku, dan tinggallah dalam hidupku!” Allah sedang menunggu dengan tangan terbuka, siap menerima kamu sebagai anak yang dikasihi.