Matius 18:3 – Kecuali jika kamu berbalik dan menjadi seperti anak kecil
Apa yang Yesus maksudkan dengan “jika kamu tidak berbalik dan menjadi seperti anak kecil, kamu tidak akan masuk kerajaan surga”?
Dalam perikop Injil Matius ini, para murid mendekati Yesus dengan pertanyaan yang menarik: “Siapakah yang terbesar di kerajaan surga?” Pertanyaan ini mengungkapkan pencarian pengakuan dan pola pikir kompetitif di antara para murid, yang mengharapkan tanggapan hierarkis. Namun, Yesus menanggapi dengan cara yang mengejutkan, dengan memanggil seorang anak dan menempatkannya di tengah-tengah mereka. Kemudian Dia berkata, “Sungguh Aku berkata kepadamu, kecuali kamu berbalik dan menjadi seperti anak kecil, kamu tidak akan masuk kerajaan surga.” (Matius 18:3)
Jawaban Yesus menantang pola pikir dunia tentang keagungan dan otoritas, menunjukkan bahwa Kerajaan Surga tidak diatur oleh aturan yang sama dengan dunia. Dia menekankan perlunya pertobatan dan perubahan pola pikir bagi mereka yang ingin menjadi bagian dari Kerajaan Allah. Menjadi “seperti anak kecil” tidak mengacu pada ketidakdewasaan atau kenaifan, tetapi pada kesederhanaan, kerendahan hati dan kepercayaan diri yang menjadi ciri khas anak-anak. Itu adalah panggilan untuk iman yang tak tergoyahkan dan ketergantungan pada Tuhan.
Apa artinya menjadi seperti anak kecil?
Menjadi seperti anak kecil melibatkan sikap kesederhanaan dan kepercayaan pada Tuhan, bebas dari kepura-puraan dan mementingkan diri sendiri. Anak-anak secara alami rendah hati dan terbuka untuk belajar, menerima bimbingan dan sepenuhnya bergantung pada pengasuhan dan pemeliharaan orang tua mereka. Demikian pula, kita harus mendekati Tuhan dengan hati yang tulus dan rendah hati, mengakui bahwa kita bergantung kepada-Nya di semua bidang kehidupan kita.
Karena itu jadilah kamu peniru-peniru Allah, sebagai anak-anak yang terkasih; dan berjalan dalam kasih, sebagaimana Kristus juga mengasihi kita dan menyerahkan diri-Nya bagi kita, suatu persembahan dan kurban bagi Allah, suatu bau yang harum.” (Efesus 5:1-2)
Dalam ayat ini, Paulus mendorong orang Kristen untuk meneladani Allah sebagai anak-anak yang dikasihi, sama seperti anak-anak meneladani dan meneladani orang tuanya. Sikap kerendahan hati, kepercayaan dan ketergantungan yang disebutkan dalam teks aslinya dapat tercermin dalam ajakan untuk berjalan dalam kasih, sebagaimana Kristus mengasihi kita, memberikan diri-Nya sepenuhnya sebagai persembahan dan kurban kepada Tuhan. Pendekatan ini mencerminkan kesederhanaan dan kepercayaan yang dimiliki seorang anak kepada orang tuanya, diterapkan dalam hubungannya dengan Tuhan.
Ciri lain dari anak-anak adalah iman mereka yang tulus dan tidak berbelit-belit. Mereka menerima kata-kata orang tua sebagai kebenaran mutlak, tanpa mempertanyakan atau meragukan. Iman yang sederhana ini menjadi contoh bagi kita, karena kita sering menjadi skeptis dan tidak percaya akan janji Tuhan. Menjadi seperti anak kecil berarti memiliki iman yang percaya diri dan tidak diragukan lagi kepada Tuhan dan janji-janji-Nya.
Apa saja sifat anak-anak yang membantu kita memasuki kerajaan surga?
Beberapa sifat anak-anak yang membantu kita memasuki Kerajaan Surga adalah harta rohani sejati, penting untuk hubungan yang mendalam dengan Tuhan dan kehidupan yang penuh. Kerendahan hati adalah kebajikan yang menempatkan kita pada posisi yang benar di hadapan Allah. Menyadari ketergantungan total kita pada Tuhan mengingatkan kita bahwa Dia adalah sumber segala kehidupan dan pemeliharaan. Kerendahan hati menjauhkan kita dari kesombongan dan kesombongan, memberi ruang bagi rahmat ilahi untuk bekerja di dalam diri kita. Ketika kita mendekati Tuhan dengan kerendahan hati, kita dapat menerima kasih karunia dan belas kasihan-Nya dengan berlimpah. Yesus sendiri mengajari kita esensi ini ketika dia berkata: “Berbahagialah orang yang rendah hati, karena kerajaan surga adalah milik mereka.” (Matius 5:3)
Keyakinan yang tak tergoyahkan adalah sifat mengagumkan lainnya pada anak-anak, yang memberikan diri mereka dengan sepenuh hati kepada orang tua mereka, tanpa rasa takut atau ragu. Demikian pula, kita perlu mengembangkan kepercayaan yang tulus kepada Tuhan, memahami bahwa Dia setia dan benar dalam semua janji-janji-Nya. Percaya sepenuhnya kepada Tuhan berarti menaruh iman dan harapan kita kepada-Nya, bahkan ketika keadaan tampak menantang. Keyakinan yang dalam ini memperkuat kita di saat-saat sulit dan memungkinkan kita untuk hidup dengan ketenangan, mengetahui bahwa Bapa Surgawi memperhatikan setiap detail kehidupan kita. Hikmat alkitabiah membimbing kita untuk menaruh kepercayaan kita kepada Tuhan, seperti yang tertulis dalam Amsal 3:5: “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan jangan bersandar pada pengertianmu sendiri.”
Kesucian hati adalah harta spiritual yang mendekatkan kita kepada Tuhan secara intim dan tulus. Seperti anak-anak yang tidak memiliki kebencian atau kedengkian di dalam hati mereka, kita harus mengejar kesucian untuk sepenuhnya mengalami kehadiran dan kasih Tuhan. Dalam Mazmur 51:10 , pemazmur berseru kepada Tuhan, “Ciptakanlah dalam diriku hati yang murni, ya Tuhan, dan perbarui semangat yang teguh dalam diriku.” Pencarian akan kesucian ini tidak berarti kesempurnaan, tetapi kesediaan yang tulus untuk membuang segala sesuatu yang mencemari persekutuan kita dengan Bapa. Hati yang murni mampu menerima manifestasi kasih ilahi yang mendalam, memungkinkan Tuhan untuk bekerja di dalam kita dan melalui kita untuk memberkati orang-orang di sekitar kita.
Dengan memupuk kerendahan hati, keyakinan yang tak tergoyahkan, dan kemurnian hati, kita mendekati teladan anak-anak, menjalin hubungan yang otentik dengan Tuhan dan mengalami Kerajaan Surga yang sejati dalam hidup kita. Kualitas-kualitas ini, yang didasarkan pada ajaran-ajaran alkitabiah, menuntun kita pada perjalanan spiritual pertumbuhan dan transformasi yang berkelanjutan, menjadi lebih seperti karakter penuh kasih dan kemurahan Bapa Surgawi kita.
Apa saja tantangan menjadi seperti anak kecil?
Sementara menjadi seperti anak kecil adalah panggilan yang mengilhami, kita menghadapi tantangan dalam perjalanan kita untuk menjalankan iman yang sederhana dan rendah hati ini. Di dunia sekarang ini, mudah sekali kehilangan kesederhanaan iman karena gangguan dan kekhawatiran sehari-hari. Kita hidup dalam masyarakat yang menghargai kemandirian dan kebanggaan, dan pola pikir ini dapat menjauhkan kita dari kerendahan hati dan kepercayaan kepada Tuhan.
Selain itu, kekerasan hati bisa menjadi penghalang untuk menjadi seperti anak-anak. Pengalaman kekecewaan, trauma, dan rasa sakit dapat membuat kita membangun tembok emosional yang menghalangi kita untuk mempercayai Tuhan sepenuhnya. Adalah penting untuk mencari kesembuhan dan pembebasan dari hambatan-hambatan ini untuk merangkul kesederhanaan iman seperti anak kecil.
Tantangan lain adalah berurusan dengan kesombongan dan keinginan untuk diakui. Seiring bertambahnya usia, kita sering bergumul dengan kebutuhan untuk diperhatikan dan dipuji oleh orang lain. Namun, keagungan sejati dalam Kerajaan Allah ditemukan dalam kerendahan hati dan pelayanan kepada orang lain, bukan dalam mencari pengakuan pribadi. “Siapa pun yang merendahkan dirinya seperti anak ini, dia adalah yang terbesar di kerajaan surga.” (Matius 18:4)
Bagaimana kita dapat menjadi lebih seperti anak kecil dalam hubungan kita dengan Tuhan dan sesama?
Untuk menjadi lebih seperti anak kecil dalam hubungan kita dengan Tuhan dan satu sama lain, penting untuk mengenali kebutuhan kita akan perubahan dan dengan tulus mengejar kehidupan yang rendah hati dan percaya. Beberapa praktik spiritual yang dapat membantu kita antara lain:
Doa yang Konstan: Menumbuhkan kehidupan doa, berbicara dengan Tuhan secara teratur seperti seorang anak berbicara kepada ayahnya, mengungkapkan rasa terima kasih, meminta bimbingan dan berbagi keprihatinan kami. “Berdoa tanpa henti.” (1 Tesalonika 5:17)
Membaca Firman Tuhan: Tenggelam dalam Kitab Suci, berusaha memahami dan menerapkan ajarannya dalam kehidupan kita sehari-hari. “Seluruh Kitab Suci diilhami oleh Allah dan bermanfaat untuk pengajaran, untuk teguran, untuk koreksi, untuk pelatihan dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16)
Pertobatan dan Pengampunan: Mengakui kesalahan dan kekurangan kita, bertobat dengan tulus dan memaafkan mereka yang telah menyinggung kita, sama seperti seorang anak yang siap memaafkan dan melupakan kesalahpahaman. “Jika kita mengaku dosa kita, Dia setia dan adil untuk mengampuni dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1:9)
Pelayanan tanpa pamrih: Berusaha melayani orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun, mencerminkan kerendahan hati dan kasih yang kita temukan di dalam Kristus. “Sebab Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Markus 10:45)
Kita bisa belajar dari anak-anak untuk memiliki iman, kepercayaan dan ketergantungan kepada Tuhan.
Iman adalah tema sentral dalam kehidupan Kristiani, dan anak-anak mengajar kita untuk memeluk iman dengan sikap yang sederhana dan tulus. Yesus berkata dalam Matius 18:3 bahwa kita harus bertobat dan menjadi seperti anak kecil untuk masuk Kerajaan Surga. Iman anak-anak adalah teladan yang kuat bagi kita saat mereka menerima janji Tuhan dan percaya kepada-Nya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. “Sungguh Aku berkata kepadamu, kecuali kamu bertobat dan menjadi seperti anak-anak, kamu tidak akan masuk kerajaan surga.” (Matius 18:3)
Ketika seorang anak diajari tentang keberadaan Tuhan dan cinta-Nya, dia menerimanya dengan sepenuh hati, tanpa ragu. Demikian pula, kita sebagai orang dewasa perlu belajar memercayai Tuhan sepenuhnya, bahkan saat kita menghadapi tantangan dan ketidakpastian.
Anak-anak juga mengajarkan kita tentang ketergantungan kepada Tuhan. Mereka tidak segan-segan meminta bantuan orang tua ketika menghadapi masalah atau membutuhkan. Ketergantungan Anda alami dan bawaan. Sebaliknya, sebagai orang dewasa kita sering bergumul untuk bergantung kepada Tuhan dalam segala bidang kehidupan kita. Kita tergoda untuk bergantung pada kemampuan dan sumber daya kita sendiri alih-alih percaya pada kuasa dan penyediaan ilahi. “Setiap pemberian yang baik dan setiap pemberian yang sempurna berasal dari atas, turun dari Bapak segala terang, yang dengannya tidak ada variasi atau bayangan yang berputar.” (Yakobus 1:17)
Iman, kepercayaan, dan ketergantungan anak-anak mengingatkan kita bahwa kita seperti anak-anak di hadapan Tuhan. Seperti seorang ayah yang merawat anak-anaknya, Tuhan merawat kita dengan cinta tanpa syarat dan pemeliharaan yang tak terbatas. Belajar dari anak-anak, kita dapat bertumbuh dalam iman kita, mencari hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan dan beristirahat dalam kasih karunia dan pemeliharaan-Nya.
Kita bisa belajar dari anak-anak untuk rendah hati, pemaaf, dan penyayang.
Yesus menghargai kerendahan hati dan hati yang suka mengampuni, dan anak-anak harus banyak mengajari kita tentang sifat-sifat ini. Kerendahan hati adalah karakteristik seorang anak, karena mereka tidak menganggap diri mereka lebih tinggi atau lebih penting dari orang lain. Mereka tidak peduli untuk membuktikan kehebatan atau status sosial mereka, tetapi hanya menjalani hidup mereka dengan keaslian dan ketulusan.
Dalam Matius 18:4, Yesus selanjutnya mengajar murid-muridnya tentang pentingnya kerendahan hati, dengan mengatakan, “Karena itu, barangsiapa merendahkan dirinya seperti anak ini, dia adalah yang terbesar di Kerajaan Surga.” Ia menunjukkan bahwa kebesaran sejati dalam Kerajaan Allah dicapai melalui kerendahan hati, bukan melalui kekuasaan atau pengejaran status.
Pelajaran lain yang bisa kita pelajari dari anak-anak adalah memaafkan. Anak-anak cepat memaafkan dan melupakan perbedaan pendapat. Mereka tidak membawa dendam atau kepahitan, tetapi mampu melepaskan pengampunan dengan tulus. Dalam Matius 18:21-22 , Petrus bertanya kepada Yesus berapa kali dia harus mengampuni seseorang yang menyinggung perasaannya, menyarankan tujuh kali. Yesus menjawab: “Aku tidak mengatakan kepadamu, sampai tujuh kali, tetapi sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Ini menggambarkan pengampunan tanpa batas yang Tuhan harapkan dari kita, sama seperti anak-anak yang mudah memaafkan. “Sebaliknya, berbaik hatilah satu sama lain, berhati lembut, saling mengampuni, sama seperti Allah di dalam Kristus mengampuni kamu.” (Efesus 4:32)
Selain itu, anak-anak juga secara alami penyayang. Ketika mereka melihat seseorang sedih atau dalam kesulitan, mereka sering berempati dan berusaha membantu. Belas kasihan adalah kualitas yang Yesus hargai dan praktikkan, seperti yang kita lihat dalam beberapa bagian Kitab Suci. Dengan belajar dari anak-anak, kita dapat memupuk sikap kerendahan hati, pengampunan, dan kasih sayang dalam hubungan kita dengan sesama, mencerminkan karakter Kristus dalam hidup kita. “Oleh karena itu, sebagai umat pilihan Allah, suci dan terkasih, hati yang welas asih, kebaikan, kerendahan hati, kelemahlembutan, panjang sabar.” (Kolose 3:12)
Kita bisa belajar dari anak-anak untuk memiliki sukacita dan harapan.
Anak-anak sering dikaitkan dengan kegembiraan dan harapan. Perspektif Anda tentang hidup penuh dengan kepolosan dan optimisme, bahkan saat menghadapi tantangan. Kegembiraan anak-anak berakar pada kesederhanaan saat ini. Mereka dapat menemukan kegembiraan dalam hal-hal kecil dalam hidup, apakah itu bermain, menemukan sesuatu yang baru, atau sekadar bersama orang yang mereka cintai. Yesus menghargai sukacita yang sederhana ini, dan Dia sendiri berkata dalam Matius 18:3 bahwa kita harus menjadi seperti anak kecil untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga.
Dengan belajar dari anak-anak, kita dapat menemukan kembali kebahagiaan yang sederhana dan tulus yang datang dari menjalani kehidupan yang beriman dan percaya kepada Tuhan. “Bersukacitalah selalu dalam Tuhan; sekali lagi saya katakan, bersukacitalah. ( Filipi 4:4) Sukacita yang berasal dari kehidupan yang bersekutu dengan Allah melampaui keadaan dan memberdayakan kita untuk menghadapi tantangan hidup dengan harapan dan rasa syukur.
Pelajaran berharga lainnya yang dapat kita pelajari dari anak-anak adalah harapan. Anak-anak memiliki kemampuan alami untuk bermimpi dan berharap akan hal-hal baik di masa depan. Pikiran mereka tidak dibebani dengan skeptisisme atau kecemasan tentang masa depan. Dalam Matius 18:10 , Yesus berbicara tentang pentingnya tidak memandang rendah seorang anak, karena “Berhati-hatilah untuk tidak memandang rendah salah satu dari anak-anak kecil ini. Karena saya memberi tahu Anda bahwa di surga malaikat mereka selalu ada di hadirat Bapa surgawi saya. Itu mengingatkan kita bahwa anak-anak memiliki tempat khusus di hati Tuhan dan harapan serta iman mereka sangat berharga bagi-Nya. “Karena aku tahu rencana yang aku miliki untukmu, firman Tuhan; rencana perdamaian dan bukan kejahatan, untuk memberimu masa depan dan harapan.” (Yeremia 29:11)
Harapan anak-anak adalah contoh yang menginspirasi bagi kita, terutama ketika kita menghadapi masa-masa sulit dan menantang. Dengan belajar dari mereka, kita dapat belajar mempertahankan perspektif yang penuh harapan, percaya bahwa Tuhan memegang kendali dan memiliki rencana untuk hidup kita. “Beristirahatlah di dalam Tuhan, dan nantikan dia dengan sabar; jangan resahkan dirimu karena dia yang berhasil di jalannya, karena orang yang melakukan rancangan jahat.” (Mazmur 37:7)
Kita bisa belajar dari anak-anak untuk terbuka terhadap pengalaman baru.
Anak-anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan kemauan untuk menjelajahi dunia di sekitar mereka. Mereka tidak takut untuk mencoba hal baru dan selalu terbuka untuk pengalaman baru. Yesus menekankan pentingnya menjadi seperti anak-anak dalam hal ini juga, terbuka dan mau menerima Kerajaan Allah.
Kesediaan untuk mencoba hal-hal baru ini juga berlaku untuk perjalanan rohani kita. Saat kita bertumbuh dalam iman kita, Tuhan membawa kita ke tingkat baru dalam pewahyuan dan pemahaman akan Firman-Nya. Kita harus bersedia keluar dari zona nyaman kita dan merangkul kebenaran baru ini dengan kerendahan hati dan antusiasme. “Ketika saya masih kecil, saya berbicara seperti anak laki-laki, saya berpikir seperti anak laki-laki dan saya bernalar seperti anak laki-laki. Ketika saya menjadi seorang pria, saya meninggalkan hal-hal kekanak-kanakan.” (1 Korintus 13:11)
Selain itu, terbuka untuk pengalaman baru juga memungkinkan kita untuk tumbuh dalam hubungan kita dengan orang lain. Terkadang kita menjadi tertutup untuk pertemanan baru atau interaksi yang bermakna dengan mereka yang berbeda dari kita. Namun, sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk mengasihi dan melayani semua orang, terlepas dari latar belakang atau kepercayaan mereka. Dengan belajar dari anak-anak, kita dapat mengembangkan hati yang hangat dan ramah terhadap orang lain, berusaha menjalin hubungan yang bermakna dan meningkatkan kesatuan dalam tubuh Kristus. “Karena itu, cintai musuhmu, dan berbuat baik, dan pinjamkan, tanpa mengharapkan imbalan apa pun, dan upahmu akan besar, dan kamu akan menjadi anak-anak Yang Mahatinggi.” (Lukas 6:35)
Kita bisa belajar dari anak-anak untuk memiliki hati yang suci.
Anak-anak dikenal karena kepolosan dan kemurnian hatinya. Mereka tidak membawa beban emosional dan kekhawatiran yang sering dilakukan orang dewasa. Yesus menghargai kemurnian hati seperti itu. Memiliki hati yang murni berarti hidup sesuai dengan prinsip moral dan etika, mencari kehidupan yang bebas dari rasa sakit hati, dendam dan keegoisan. Dalam Matius 5:8 , Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.” Ini menunjukkan kepada kita bahwa kemurnian hati sangat penting untuk mengalami persekutuan yang lebih dalam dengan Tuhan. “Ciptakan dalam diriku hati yang murni, ya Tuhan, dan perbarui semangat yang teguh dalam diriku.” (Mazmur 51:10)
Salah satu penyebab anak memiliki hati yang suci adalah karena mereka cenderung mudah memaafkan dan tidak menyimpan dendam. Mereka tidak terkontaminasi oleh perasaan balas dendam atau kepahitan. Sebagai orang dewasa, kita bisa belajar dari anak-anak untuk melepaskan pengampunan dan mencari rekonsiliasi dengan mereka yang telah berbuat salah kepada kita. Ini akan memungkinkan kita untuk mengalami kebebasan dan kedamaian yang datang dari pengampunan yang tulus. “Jadi, jika Anda mempersembahkan persembahan Anda di altar dan di sana Anda ingat bahwa saudara Anda memiliki sesuatu yang menentang Anda, tinggalkan persembahan Anda di sana di depan altar dan berdamai dulu dengan saudara Anda; dan kemudian, kembali, berikan persembahanmu.” (Matius 5:23-24)
Selain itu, hati yang murni terbuka untuk bimbingan dan koreksi Tuhan. Ketika kita memiliki hati yang murni, kita dengan tulus mencari kehendak Tuhan dalam hidup kita dan rela mengesampingkan keinginan dan hasrat kita sendiri untuk mengikuti jalan yang telah Dia tetapkan bagi kita. “Tuntunlah aku di jalan perintah-Mu, karena di dalamnya aku senang.” (Mazmur 119:35)
Kesucian hati juga tercermin dalam pemikiran dan ucapan kita. Anak-anak sering berbicara dengan tulus dan tidak memiliki motif tersembunyi dalam kata-kata mereka. Belajar dari mereka, kita dapat mengembangkan bahasa yang membangkitkan semangat dan tulus, menghindari gosip, kata-kata yang menyinggung dan menyesatkan. “Janganlah ada pembicaraan yang tidak baik keluar dari mulutmu, tetapi hanya yang baik untuk pembangunan yang diperlukan, sehingga dapat memberikan rahmat kepada mereka yang mendengarnya.” (Efesus 4:29)
Ringkasnya, dengan belajar dari anak-anak untuk memiliki iman, kepercayaan dan ketergantungan pada Tuhan, rendah hati, pemaaf dan penyayang, memiliki sukacita dan harapan, terbuka terhadap pengalaman baru dan memiliki hati yang murni, kita diberdayakan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. kehidupan yang lebih dalam dan bermakna dalam Kerajaan Allah. Pelajaran anak-anak ini tidak hanya membawa kita lebih dekat kepada Tuhan, tetapi juga memperkaya hubungan kita satu sama lain dan membantu kita bertumbuh sebagai murid Kristus.
Semoga kita berusaha merangkul kesederhanaan iman seperti anak kecil dalam perjalanan Kristiani kita, mengakui bahwa kita dikasihi dan diterima sebagai anak-anak Allah. Semoga kita belajar untuk percaya dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya, mencari kehendak-Nya dalam segala hal yang kita lakukan. Dan itu, diilhami oleh anak-anak, kita dapat memupuk hati yang murni dan berbelas kasih, mau saling mengampuni dan mengasihi, sama seperti Kristus mengasihi kita.
Semoga pelajaran anak-anak ini mengubah hidup kita dan memampukan kita menjalani hidup yang penuh dan bermakna dalam Kerajaan Allah. Semoga kesederhanaan iman selalu mengingatkan kita akan kebesaran kasih Tuhan bagi kita dan menginspirasi kita untuk hidup dalam persekutuan yang intim dengan-Nya, menikmati sukacita dan harapan yang hanya dapat diberikan oleh-Nya kepada kita. Semoga kita menjadi pengikut Kristus yang sejati, memantulkan terang dan kasih-Nya kepada dunia di sekitar kita.
Kesimpulannya, penelaahan terhadap Matius 18:1-3 dan pelajaran anak-anak mengilhami kita untuk bertumbuh dalam iman kita dan untuk hidup dalam pengabdian dan kasih kepada Allah dan sesama. Semoga setiap hari kita mendekat ke hati Tuhan, berusaha menjadi seperti anak-anak di hadirat-Nya, hidup dengan kerendahan hati, kepercayaan dan sukacita dalam perjalanan kita bersama Kristus. Amin.
Share this article
Written by : Ministério Veredas Do IDE
Latest articles
November 9, 2024
November 9, 2024
November 9, 2024