Dalam studi yang mendalam dan menarik ini, kita akan menggali lebih dalam konsep alkitabiah tentang kesatuan dalam gereja, sebuah doktrin yang bukan sekadar aspek sekunder, melainkan landasan fundamental iman Kristen. Kesatuan gereja adalah sebuah tema yang secara intrinsik terkait dengan pesan Kitab Suci, yang meresap dalam setiap halaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ini adalah kekuatan vital yang menopang Tubuh Kristus dan memainkan peran penting dalam perjalanan rohani kita.
Saat kita menyelidiki Kitab Suci secara menyeluruh, kita akan menemukan bahwa kesatuan gereja bukan sekadar saran melainkan perintah ilahi. Hal ini melampaui perbedaan budaya, teologis dan individu, karena hal ini merupakan inti dari identitas Kristiani. Kita akan melihat bagaimana persatuan bukan hanya sebuah nilai yang indah, namun sebuah panggilan ilahi yang membentuk cara kita menghayati iman dan berhubungan dengan saudara-saudari kita di dalam Kristus.
Sepanjang pembelajaran ini, kita akan ditantang untuk memeriksa secara mendalam hati dan tindakan kita dalam kaitannya dengan kesatuan gereja. Kita akan menemukan betapa persatuan sangat penting tidak hanya bagi persekutuan batin kita, namun juga bagi kesaksian kita terhadap dunia. Jadi, persiapkan diri Anda untuk perjalanan rohani yang kaya akan ajaran alkitabiah, refleksi mendalam, dan penerapan praktis saat kita mengeksplorasi makna dan pentingnya persatuan dalam gereja dalam terang Firman Tuhan.
Fondasi Alkitabiah untuk Persatuan dalam Gereja: Fondasi yang Kokoh
Dasar persatuan dalam gereja adalah prinsip yang berakar kuat dalam Kitab Suci, yang menonjol sebagai salah satu pilar iman Kristen. Memahami landasan alkitabiah ini sangat penting untuk membangun komunitas iman yang kuat dan kohesif yang mencerminkan tujuan ilahi bagi gereja.
Inti dari landasan ini adalah doa Yesus yang dicatat dalam Yohanes 17:21 , di mana Dia berseru kepada Bapa surgawi, mengatakan, “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau; semoga mereka juga menjadi satu di antara kita, sehingga dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus aku.” Dalam pernyataan ini, Yesus tidak hanya mengungkapkan kesatuan-Nya dengan Bapa, namun juga menetapkan model transenden bagi kesatuan gereja. Ia menunjukkan bahwa persatuan bukan sekadar keinginan, melainkan perintah ilahi yang mencerminkan sifat hakiki Tuhan.
Ayat ini tidak hanya menyoroti pentingnya persatuan, namun juga menunjukkan tujuan utamanya: agar dunia dapat mengenali kebenaran pesan Kristiani dan misi ilahi Yesus. Oleh karena itu, persatuan bukan hanya masalah internal gereja, namun merupakan alat penginjilan yang kuat yang menjadi saksi dunia yang membutuhkan transformasi yang hanya bisa ditawarkan oleh Kristus.
Namun, kesatuan tidak boleh disamakan dengan keseragaman. Sebagaimana Paulus ajarkan dalam 1 Korintus 12:12, gereja diumpamakan sebagai suatu tubuh, yang terdiri dari banyak anggota yang berbeda-beda, yang masing-masing memiliki fungsi uniknya sendiri. Hal ini menyiratkan bahwa keragaman karunia, bakat, dan panggilan dalam gereja bukanlah ancaman terhadap persatuan, namun merupakan ekspresi dari persatuan. Persatuan tidak bergantung pada kesetaraan kita semua, melainkan pada kita semua yang memiliki iman yang sama dalam Yesus Kristus.
Penting untuk dicatat bahwa kesatuan gereja bukanlah suatu keinginan kosong, namun merupakan cerminan dari hakikat Allah. Tuhan sendiri adalah Trinitas – Bapa, Putra dan Roh Kudus – dalam kesatuan yang sempurna. Oleh karena itu, ketika orang percaya mengupayakan persatuan, mereka mengikuti teladan ilahi dan berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan di dunia.
Pemahaman kita tentang persatuan harus dibentuk oleh Firman Tuhan, dan ketika kita menelusuri Kitab Suci lebih dalam, kita menemukan bahwa persatuan bukan hanya sebuah anjuran, namun sebuah perintah ilahi yang menantang kita untuk mengatasi perbedaan, memupuk cinta timbal balik, dan memelihara ikatan perdamaian. seperti yang ditekankan dalam Efesus 4:3 “Berusaha memelihara kesatuan Roh melalui ikatan perdamaian.” Hal ini memerlukan usaha yang tekun, namun merupakan usaha yang layak untuk memenuhi keinginan Tuhan kita akan kesatuan gereja-Nya.
Singkatnya, landasan alkitabiah bagi kesatuan dalam gereja adalah kokoh dan mendalam. Beliau mengingatkan kita bahwa persatuan bukan sekedar pilihan, namun perintah ilahi yang mencerminkan sifat Tuhan dan memiliki kekuatan untuk berdampak pada dunia di sekitar kita. Ketika kita memperdalam landasan ini, kita diberdayakan untuk menjalani kehidupan Kristen yang lebih otentik, berkontribusi pada perluasan Kerajaan Allah dan pembangunan gereja sebagai Tubuh Kristus.
Pentingnya Persatuan bagi Kesaksian Kristen
Persatuan dalam gereja bukan hanya soal kohesi internal; ini adalah faktor penting dalam kesaksian Kristen kepada dunia. Saat kita menelusuri pentingnya kesatuan dalam kesaksian kita, kita menyadari bahwa prinsip ini melampaui tembok gereja dan menjangkau mereka yang belum mengenal Kristus.
Yesus, Guru ilahi, menangkap esensi pentingnya hal ini dalam Yohanes 13:35 ketika ia menyatakan, ”Dengan inilah semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridku, yaitu jika kamu saling mengasihi.” Pernyataan ini sangat mendalam dan sarat makna. Hal ini mengungkapkan kepada kita bahwa kasih timbal balik dan kesatuan dalam gereja adalah tanda-tanda yang membuktikan iman dan pemuridan kita. Dunia mengamati tindakan dan sikap kita terhadap saudara dan saudari kita dalam Kristus, dan pengamatan ini dapat menjadi kunci untuk membuka hati mereka yang tidak percaya terhadap pesan Injil.
Ketika umat Kristiani hidup dalam perpecahan, baik karena perbedaan pendapat teologis, persaingan pribadi, atau alasan lainnya, hal ini secara langsung melemahkan kesaksian kita. Gereja yang terpecah, di mana perbedaan lebih ditonjolkan daripada kasih timbal balik, bukanlah sebuah komunitas yang dapat menarik orang lain kepada Kristus. Sebaliknya, perpecahan seperti itu sering kali membuat orang terasing, membuat mereka bingung dan tidak percaya akan keaslian iman Kristen.
Inilah sebabnya rasul Paulus, dalam Filipi 2:2, mendesak orang-orang percaya untuk memiliki pikiran yang sama. “Lengkapkanlah sukacitaku, supaya kamu mempunyai pikiran yang sama, mempunyai kasih yang sama, pikiran yang sama, pikiran yang sama.” Kesatuan tujuan inilah yang memungkinkan gereja memenuhi misi pemuridannya. Ketika orang-orang beriman dipersatukan dalam kasih dan tujuan, kekuatan kolektif mereka diperkuat, dan pengaruh mereka di dunia menjadi tak tertahankan.
Pentingnya kesatuan bagi kesaksian Kristen juga dibuktikan dalam ayat-ayat Alkitab lainnya. Dalam Matius 5:16, Yesus menasihati para pengikut-Nya untuk bersinar seperti terang di dunia agar orang lain dapat melihat perbuatan baik mereka dan memuliakan Bapa surgawi mereka. Persatuan adalah salah satu “perbuatan baik” yang bersinar di hadapan dunia yang tidak percaya.
Dalam Efesus 4:1-3, Paulus menekankan perlunya hidup sesuai dengan panggilan yang telah menjadi panggilan kita, dengan segala kerendahan hati dan kelembutan, saling mengasihi, “Berusaha memelihara kesatuan Roh dalam ikatan perdamaian.” Ayat ini menggarisbawahi bahwa persatuan bukan sekedar sebuah nasihat, namun sebuah panggilan untuk secara aktif melestarikannya, karena persatuan adalah inti dari kesaksian Kristiani di dunia.
Persatuan dalam gereja merupakan hal mendasar bagi kesaksian Kristen yang efektif. Ini bukanlah suatu pilihan, namun suatu keharusan, karena kemampuan kita untuk menarik orang lain kepada Kristus bergantung pada cara kita hidup dalam kasih dan kesatuan satu sama lain. Ketika gereja bersatu, gereja menjadi saksi hidup anugerah Allah yang mentransformasikan, memimpin orang lain untuk mendekat kepada Juruselamat yang ingin menebus umat manusia. Oleh karena itu, persatuan bukan sekedar persoalan internal; ini adalah alat penginjilan yang ampuh yang berdampak selamanya bagi mereka yang menyaksikannya.
Tantangan terhadap Persatuan dalam Gereja: Mengatasi Hambatan
Meskipun kesatuan dalam gereja merupakan prinsip fundamental, kenyataannya kita menghadapi banyak tantangan yang dapat mengancamnya. Mengenali dan memahami tantangan-tantangan ini sangatlah penting agar kita dapat mengatasinya secara efektif sambil menjaga kesatuan Tubuh Kristus.
Salah satu tantangan utama bagi persatuan adalah perbedaan doktrin. Dalam Kitab Suci kita menemukan petunjuk tentang pentingnya doktrin yang sehat, namun kita juga diingatkan bahwa dalam hal-hal sekunder kita harus bersikap toleran dan sabar. Roma 14:1 menasihati kita untuk menerima apa yang lemah iman, tanpa memperdebatkan pendapat. “Adapun orang yang lemah imannya, terimalah dia, jangan berselisih karena keraguan.” Artinya, meskipun doktrin itu penting, kita harus menghindari perdebatan sengit mengenai isu-isu yang kurang mendasar demi menjaga persatuan.
Tantangan lain terhadap persatuan muncul dari perbedaan kepribadian dan pendapat di antara anggota gereja. Setiap individu membawa serta serangkaian pengalaman, perspektif, dan preferensi yang unik. Dalam Efesus 4:2-3 , kita dipanggil untuk saling bersabar dalam kasih. “Dengan segala kerendahan hati dan kelembutan, dengan panjang sabar, saling menyayangi dalam kasih, berusaha memelihara kesatuan Roh dalam ikatan perdamaian.” Artinya, persatuan bukan berarti setiap orang harus setara, tetapi kita harus belajar hidup bersama dalam kasih, saling menghargai perbedaan.
Lebih jauh lagi, persatuan terancam ketika kita membiarkan konflik yang tidak terselesaikan tidak terselesaikan. Dalam Matius 18:15, Yesus memberi kita model yang jelas tentang cara menyelesaikan konflik di gereja, dimulai dengan percakapan pribadi dengan orang yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan pentingnya komunikasi terbuka dan saling memaafkan untuk menjaga persatuan.
Perpecahan denominasi juga menimbulkan tantangan bagi persatuan. Meskipun keragaman tradisi dan praktik di gereja dapat memperkaya, hal ini juga dapat menciptakan hambatan. Paulus, dalam 1 Korintus 1:10 , menasihati orang-orang percaya untuk tidak menimbulkan perpecahan di antara mereka, tetapi untuk “bersatu sepikiran dan sependapat.” Hal ini tidak berarti bahwa kita harus meninggalkan tradisi-tradisi kita, namun kita harus menghargai kesatuan kita dalam Kristus di atas segalanya.
Hambatan lain bagi persatuan adalah kesombongan. Dalam Filipi 2:3, Paulus memperingatkan kita untuk tidak melakukan apa pun karena perselisihan atau kesombongan, tetapi dengan kerendahan hati, menganggap orang lain lebih baik daripada diri kita sendiri. Kesombongan pribadi dapat menimbulkan kesombongan dan keterasingan dari anggota gereja lainnya, sehingga melemahkan persatuan.
Pada akhirnya, sikap tidak mau mengampuni merupakan tantangan serius bagi persatuan di dalam gereja. Dalam Kolose 3:13, kita diperintahkan untuk saling bersabar dan mengampuni, sama seperti Tuhan telah mengampuni kita. Pengampunan sangat penting untuk menyembuhkan luka dan memulihkan hubungan, sehingga persatuan bisa terjalin.
Singkatnya, tantangan terhadap kesatuan dalam gereja adalah nyata dan memiliki banyak segi. Namun, memahami tantangan-tantangan ini berdasarkan Alkitab akan memberdayakan kita untuk mengatasinya dengan kasih, kerendahan hati, pengampunan, dan komitmen yang teguh terhadap kesatuan yang mencerminkan sifat Allah.
Persatuan dalam Tindakan: Persatuan yang Hidup dalam Praktek
Persatuan dalam gereja bukan sekedar gagasan teoretis; itu harus dijalani dan diwujudkan dalam cara-cara praktis dalam kehidupan kita sehari-hari. Agar persatuan menjadi lebih dari sekedar aspirasi, kita harus memahami bagaimana mewujudkannya, menerjemahkan prinsip-prinsip alkitabiah ke dalam perilaku nyata.
Salah satu aspek terpenting dari kesatuan tindakan adalah saling melayani. Dalam Yohanes 13:14-15, Yesus memberikan contoh yang paling mencolok dengan membasuh kaki murid-murid-Nya. Dia mengajarkan bahwa melayani satu sama lain tidak hanya memperlihatkan kerendahan hati namun juga memperkuat ikatan persatuan. Ketika kita melayani saudara dan saudari kita dalam Kristus, kita mencontohkan kasih praktis yang seharusnya menjadi ciri gereja.
Lebih jauh lagi, persatuan terwujud dalam persekutuan dan berbagi. Kisah Para Rasul 2:42 menggambarkan bagaimana orang-orang percaya mula -mula “tekun dalam pengajaran dan persekutuan para rasul, dalam memecahkan roti dan dalam doa.” Persekutuan ini tidak sebatas pertemuan mingguan belaka, namun melibatkan berbagi kehidupan satu sama lain. Komuni mencakup berbagi suka dan duka, saling mendukung dalam segala keadaan.
Doa bersama juga merupakan cara penting untuk mewujudkan kesatuan. Ketika orang-orang beriman berkumpul dalam doa, mereka menunjukkan ketergantungan mereka pada Tuhan dan kesatuan mereka satu sama lain. Yesus menandaskan pentingnya doa bersama dalam Matius 18:19-20 , dengan mengatakan, ”Jika dua orang di antara kalian sepakat di bumi mengenai apa pun yang mereka minta, maka hal itu akan dilakukan bagi mereka oleh Bapakku yang di surga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka.”
Cara praktis lainnya untuk mengalami kesatuan dalam gereja adalah melalui sikap saling mendukung pada saat dibutuhkan. Galatia 6:2 memerintahkan kita untuk “saling menanggung beban”, yang berarti bersedia membantu saudara-saudari kita yang kesulitan. Ini lebih dari sekadar kata-kata penyemangat; hal ini melibatkan tindakan nyata yang menunjukkan bahwa kita benar-benar berkomitmen terhadap kesejahteraan orang lain.
Selanjutnya, persatuan diungkapkan dengan menghargai perbedaan. Seperti disebutkan sebelumnya, gereja terdiri dari anggota-anggota dengan karunia dan perspektif yang berbeda-beda. Dalam Roma 14, Paulus mengajarkan bahwa meskipun kita mungkin berbeda pendapat dalam masalah-masalah kecil, kita harus memperlakukan satu sama lain dengan hormat dan kasih. Artinya tidak menghakimi atau memandang rendah pihak yang berbeda pendapat, namun mengulurkan tangan persaudaraan.
Persatuan juga terlihat ketika kita saling membela dan bersatu demi tujuan yang adil. Ketika seorang anggota gereja menghadapi ketidakadilan atau penganiayaan, seluruh anggota gereja harus siap mendukung mereka. Dalam 1 Korintus 12:26, Paulus menyatakan bahwa jika satu anggota menderita, semua anggota ikut menderita.
Singkatnya, kesatuan dalam tindakan merupakan demonstrasi praktis dari rasa saling mencintai, melayani, persekutuan, doa, dan dukungan. Hal ini melibatkan tindakan yang konsisten dengan prinsip-prinsip alkitabiah tentang kesatuan dan komitmen untuk membangun Tubuh Kristus. Ketika persatuan dihayati dalam tindakan, maka persatuan tersebut akan menjadi kekuatan transformatif dalam gereja dan menjadi kesaksian yang kuat bagi dunia.
Peran Cinta dalam Persatuan: Ikatan yang Sangat Diperlukan
Kasih memainkan peran sentral dan tidak dapat dinegosiasikan dalam menjaga kesatuan dalam gereja. Tanpa cinta, persatuan hanya akan menjadi formalitas belaka, namun dengan cinta sebagai fondasinya, persatuan akan tumbuh subur dan menjadi sejati, mendalam, dan transformatif.
Rasul Paulus, dalam Kolose 3:14 , menyatakan dengan tegas: “Di atas segalanya, kenakanlah kasih, yang merupakan pengikat kesempurnaan.” Dalam kalimat sederhana ini, Paulus mengungkapkan kepada kita pentingnya kasih sebagai penghubung yang mempersatukan umat beriman dan memungkinkan persatuan. Dia tidak mengatakan bahwa cinta itu “penting” atau “penting pada saat-saat tertentu”, tetapi “di atas segalanya”. Artinya kasih merupakan prioritas utama dalam kehidupan gereja.
Ketika kita menyelidiki apa artinya “mengenakan cinta,” kita menemukan bahwa itu bukanlah tugas yang mudah. Artinya cinta bukan sekadar perasaan dangkal, melainkan komitmen aktif dan disengaja untuk mengupayakan kesejahteraan orang lain. Mencintai tidak hanya ketika itu mudah, tetapi juga ketika itu menantang. Itu adalah cinta yang berkorban, memaafkan dan bertahan. Kasih seperti itulah yang Yesus tunjukkan ketika Dia menyerahkan nyawa-Nya bagi kita di kayu salib.
1 Petrus 4:8 memperkuat gagasan ini, dengan menyatakan, ”Yang terutama, hendaklah kamu saling mengasihi dengan sungguh-sungguh, karena kasih menutupi banyak dosa.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa, dalam konteks persatuan, cintalah yang membuat kita bisa memaafkan dan mengatasi kesalahan dan pelanggaran satu sama lain. Dalam gereja yang bersatu, perbedaan pendapat bukanlah alasan perpecahan, namun kesempatan untuk menunjukkan kekuatan kasih.
Cinta juga merupakan penawar kesombongan dan kesombongan yang dapat merusak persatuan. Dalam 1 Korintus 13, Paulus menggambarkan kasih sebagai kasih yang sabar, baik hati, tidak iri hati, tidak menyombongkan diri, dan tidak mementingkan diri sendiri. Karakteristik ini sangat penting untuk menjaga hubungan yang sehat dan meningkatkan kesatuan dalam gereja.
Lebih jauh lagi, cinta adalah motivasi di balik pelayanan dan persekutuan di antara orang-orang beriman. Ketika kita benar-benar mengasihi saudara-saudari kita di dalam Kristus, kita bersedia untuk melayani, mendukung, berbagi, dan peduli satu sama lain. Komuni menjadi ekspresi kasih yang sejati dan bukan sekedar ritual keagamaan.
Pentingnya kasih dalam kesatuan ditegaskan lebih lanjut dalam 1 Korintus 13:2 , di mana Paulus menulis: “Meskipun ia mempunyai karunia bernubuat dan mengetahui segala rahasia dan segala pengetahuan, dan meskipun ia mempunyai iman yang penuh, sedemikian rupa sehingga memindahkan gunung, dan tanpa kasih, tidak akan ada apa-apanya.” Hal ini mengingatkan kita bahwa semua karunia dan kemampuan rohani akan kehilangan maknanya tanpa kasih sebagai landasannya.
Singkatnya, kasih memainkan peran yang sangat berharga dalam menjaga kesatuan dalam gereja. Ikatan itulah yang mempersatukan umat beriman, motivasi dalam pelayanan dan kunci untuk mengatasi tantangan dan perbedaan. Ketika gereja memupuk kasih yang intens, rela berkorban, dan memaafkan, persatuan tidak hanya menjadi sebuah tujuan namun menjadi kenyataan hidup yang mengubah kehidupan dan memuliakan Tuhan.
Teladan Yesus: Inkarnasi Persatuan
Saat kita menelusuri tema persatuan dalam gereja, kita tidak bisa tidak merenungkan teladan kesatuan yang tertinggi, yaitu Yesus Kristus. Beliau tidak hanya mengajarkan kita tentang persatuan, namun juga mewujudkannya dengan sempurna, menjadi teladan yang sempurna untuk diikuti oleh orang-orang beriman.
Dalam Filipi 2:5-8, rasul Paulus memberi kita pemahaman mendalam tentang teladan Yesus tentang kesatuan. Ia menulis: “Hendaklah kamu menaruh pikiran dan perasaan seperti yang juga terdapat dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai suatu perampokan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba. untuk pria; dan dalam rupa manusia, Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib.”
Teks ini mengungkapkan kepada kita bahwa meskipun Yesus adalah Tuhan, Dia rela mengosongkan diri-Nya dari kemuliaan dan kedudukan ilahi-Nya untuk menjadi hamba umat manusia. Kerendahan hati inilah yang menjadi dasar persatuan, karena menunjukkan bahwa persatuan sejati tidak didasarkan pada status atau kekuasaan, melainkan pada pelayanan dan cinta kasih yang tidak mementingkan diri sendiri.
Yesus tidak hanya mengosongkan diri-Nya sendiri, tetapi juga taat sampai mati, dan bukan sembarang kematian, melainkan kematian di kayu salib. Salib adalah simbol utama pengorbanan dan kasih penebusan Tuhan. Yesus memberikan nyawa-Nya untuk mendamaikan umat manusia dengan Bapa, dan ini menunjukkan betapa besarnya kasih dan komitmen-Nya terhadap kesatuan umat manusia dengan Allah.
Selain itu, Yesus tidak membeda-bedakan atau mengecualikan siapa pun. Ia berhubungan dengan masyarakat dari semua lapisan masyarakat, menunjukkan bahwa persatuan tidak terbatas pada kelompok atau kelas sosial tertentu. Belas kasihan-Nya terlihat jelas dalam interaksi-Nya dengan orang-orang yang terpinggirkan, orang-orang berdosa, dan orang-orang sakit. Dia meruntuhkan hambatan budaya dan sosial untuk mengungkapkan kasih Allah yang inklusif.
Teladan Yesus juga mencakup ajaran-Nya tentang pengampunan. Beliau mengajarkan bahwa kita harus mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali (Matius 18:21-22), artinya tidak boleh ada batasan dalam mengampuni di antara orang-orang beriman. Pengampunan sangat penting untuk menjaga persatuan, karena memungkinkan hubungan dipulihkan setelah konflik dan perselisihan.
Teladan Yesus adalah standar utama kesatuan yang harus diupayakan oleh gereja. Beliau mengajarkan kepada kita bahwa persatuan tidak didasarkan pada kekuatan, namun pada kerendahan hati dan pelayanan. Ia menunjukkan bahwa persatuan membutuhkan pengorbanan dan cinta tanpa pamrih. Jika kita mengikuti teladan Yesus dalam kehidupan kita dan hubungan gereja, kita akan berada di jalur yang benar untuk mewujudkan kesatuan yang mencerminkan sifat Tuhan dan menarik orang lain kepada iman Kristen.
Doa untuk Persatuan: Mencari Persatuan dalam Hati dan Gereja
Doa memainkan peran mendasar dalam mencari dan memelihara kesatuan dalam gereja. Melalui doa kita dapat memohon campur tangan ilahi untuk mengatasi tantangan, menyembuhkan perpecahan, dan memperkuat ikatan cinta antar umat beriman.
Yesus, dalam pelayanan-Nya di dunia, mencurahkan banyak waktu untuk berdoa, dan doa-Nya yang dicatat dalam Yohanes 17 khususnya relevan dengan pembelajaran kita tentang kesatuan. Dalam doa ini, Yesus menjadi perantara tidak hanya bagi murid-murid langsung-Nya, namun juga bagi semua orang yang mau percaya dalam nama-Nya, termasuk gereja di segala zaman.
Dalam Yohanes 17:21 , Yesus memohon kepada Bapa dengan mengatakan, “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau; semoga mereka juga menjadi satu di antara kita, sehingga dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus aku.” Doa ini mengungkapkan bahwa persatuan adalah keinginan mendalam hati Allah dan merupakan bagian penting dari rencana ilahi bagi penebusan umat manusia.
Doa Yesus menekankan bahwa persatuan bukanlah sesuatu yang dapat kita capai melalui upaya manusiawi kita saja, namun merupakan pekerjaan yang dilakukan Tuhan di dalam kita dan di antara kita. Doa adalah cara kita mencari campur tangan Tuhan untuk memungkinkan gereja hidup dalam kesatuan.
Doa persatuan tidak hanya sebatas berdoa untuk kesepakatan teologis, tetapi juga untuk cinta, pengampunan, dan rekonsiliasi antar umat beriman. Kita harus berdoa agar perpecahan, kepahitan atau kesalahpahaman apa pun dapat diatasi dengan kuasa kasih Tuhan.
Lebih jauh lagi, doa untuk persatuan harus melibatkan kerendahan hati ketika kita menyadari kegagalan dan keterbatasan kita dalam hidup dalam kesatuan. Doa mengingatkan kita bahwa kita semua bergantung pada rahmat Tuhan dan bahwa Dialah yang memampukan kita untuk hidup harmonis satu sama lain.
Doa memohon kesatuan juga bisa menjadi kegiatan bersama, dimana gereja secara keseluruhan berkumpul untuk mengupayakan kesatuan dalam hubungan dan pelayanannya. Hal ini menciptakan lingkungan di mana umat beriman didorong untuk berdamai, meminta pengampunan, dan bertumbuh dalam kasih satu sama lain.
Singkatnya, doa untuk persatuan memainkan peranan penting dalam kehidupan gereja. Ini adalah cara untuk mencari kehendak Tuhan bagi gereja-Nya dan meminta kasih karunia dan kuasa-Nya untuk hidup dalam kesatuan satu sama lain. Ketika gereja mengabdikan dirinya untuk mendoakan persatuan, gereja menjadi lebih tahan terhadap perpecahan dan menjadi lebih efektif dalam kesaksiannya kepada dunia.
Kesimpulan
Persatuan dalam gereja bukan hanya persoalan internal; hal ini juga mempunyai dampak yang signifikan terhadap kesaksian gereja kepada dunia. Cara orang percaya hidup dalam kesatuan merupakan cerminan yang kuat dari kasih Allah dan transformasi yang dapat dibawa oleh Injil ke dalam kehidupan masyarakat.
Yesus, dalam Yohanes 13:35, berkata: “Dengan demikian setiap orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Pernyataan ini memberikan fokus yang jelas pada persatuan dan cinta timbal balik sebagai ciri pembeda pengikut Yesus. Dunia mengamati dengan cermat bagaimana orang-orang percaya berhubungan satu sama lain, dan kesatuan gereja adalah kesaksian yang jelas akan kuasa Injil untuk mengubah kehidupan.
Persatuan dalam gereja merupakan respons terhadap perintah Yesus dalam Matius 5:16, di mana Dia berkata: “Hendaklah terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatan baikmu dan memuliakan Bapamu di surga.” Ketika gereja hidup dalam kesatuan, “perbuatan baik” yang dilakukannya mencakup cara orang percaya saling mengasihi, mendukung, dan melayani. Kesaksian akan kasih timbal balik ini menarik perhatian orang-orang yang tidak beriman dan dapat menuntun banyak orang untuk mendekat kepada Kristus.
Lebih jauh lagi, kesatuan dalam gereja berfungsi sebagai jawaban langsung terhadap doa Yesus yang dicatat dalam Yohanes 17:21 , di mana Ia memohon kepada Bapa agar orang-orang percaya “menjadi satu, sama seperti Engkau, Bapa, ada di dalam Aku dan Aku di dalam Kamu. Ketika gereja hidup dalam kesatuan, maka gereja mencerminkan hakikat Tritunggal dan memberi kesaksian kepada dunia tentang kesatuan sempurna dan kasih yang terdapat dalam Allah.
Sebaliknya, perpecahan melemahkan kesaksian Kristen. Ketika gereja ditandai oleh konflik, perpecahan, dan kurangnya kasih terhadap satu sama lain, hal ini membingungkan dan mematahkan semangat orang-orang yang mencari jawaban rohani. Pesan Injil menjadi lemah ketika gereja tidak hidup dalam kesatuan, karena gereja tampaknya tidak hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang diberitakannya.
Contoh gereja yang bersatu juga berdampak positif pada masyarakat di mana gereja itu berada. Ketika gereja terlibat dalam kegiatan amal, keadilan sosial, dan kepedulian terhadap mereka yang membutuhkan dengan cara yang bersatu, hal ini mengirimkan pesan harapan dan kasih sayang yang kuat kepada dunia.
Singkatnya, kesatuan dalam gereja adalah kesaksian hidup akan kasih Allah dan kuasa Injil. Hal ini menarik orang kepada Kristus, mencerminkan sifat ilahi dan berdampak positif pada masyarakat. Ketika gereja hidup dalam kesatuan, gereja menjadi terang yang bersinar di dunia, menunjukkan jalan menuju rekonsiliasi dan kasih yang hanya dapat ditemukan di dalam Yesus Kristus.