Imamat 6:13 – Api akan terus menyala di atas mezbah; itu tidak akan padam.
Pembelajaran alkitabiah berikut ini akan menjelaskan ayat ketiga belas dari pasal enam kitab Imamat 6-13, menyingkapkan implikasi dan maknanya dalam hubungan kita dengan Allah. Bagian Alkitab yang akan kita bahas adalah sebagai berikut:
Imamat 6:21-13 (ARA) : “ Api akan selalu menyala di atas mezbah; itu tidak akan padam; Tetapi imam harus menyalakan kayu bakar di atasnya setiap pagi, lalu meletakkan korban bakaran secara berurutan di atasnya, dan membakar lemak korban keselamatan di atasnya. Api akan terus menyala di atas mezbah; itu tidak akan padam.”
Ayat ini membawa kita pada refleksi mendalam terhadap ritual pengorbanan dosa yang terus menerus dilakukan. Melalui praktik ini, kita dapat memahami prinsip-prinsip berharga yang, meskipun mungkin tampak asing dalam realitas kita sehari-hari, namun memiliki implikasi yang signifikan bagi perjalanan spiritual kita. Namun, untuk memahami sepenuhnya konteks dan pentingnya ayat ini, kita perlu mempelajari lebih dalam budaya dan teologi Perjanjian Lama, menelusuri relevansinya bagi orang percaya saat ini.
Makna Pengorbanan Sehari-hari dan Kaitannya dengan Kekristenan
Ayat dari Imamat 6:13 menggambarkan prosedur melakukan pengorbanan harian di Kemah Suci, suatu tindakan yang memiliki makna rohani yang mendalam dan terus memiliki relevansi bagi umat Kristiani saat ini. Pengorbanan sehari-hari ini mewakili kebutuhan berkelanjutan untuk mencari kehadiran Tuhan dan mengekspresikan pengabdian kita. Namun bagaimana konsep ini berhubungan dengan agama Kristen dan pengorbanan Yesus Kristus?
Pada intinya, pengorbanan sehari-hari menunjuk pada realitas dosa dan perlunya penebusan. Meskipun pengorbanan hewan dalam Perjanjian Lama tidak dapat menghapus dosa secara permanen, pengorbanan tersebut melambangkan kesadaran akan perbuatan salah dan mencari pengampunan. Namun umat Kristiani diberkati untuk hidup di era pasca-pengorbanan Kristus, yang mempersembahkan korban sempurna yang menutupi segala dosa.
Ibrani 9:26 (NIV) : “Jika tidak demikian, ia harus menderita berkali-kali sejak dunia dijadikan. Tetapi sekarang di akhir zaman dia telah muncul sekali, untuk menghapus dosa melalui pengorbanan dirinya sendiri.”
Pengorbanan Yesus yang unik dan sempurna membuat ritual pengorbanan hewan tidak diperlukan lagi, karena Dia “menyingkirkan dosa melalui pengorbanan diri-Nya sendiri.” Sebagai orang Kristen, kita tidak perlu lagi mempersembahkan korban darah untuk menebus dosa-dosa kita, karena pekerjaan Kristus di kayu salib telah mencapai hal ini untuk selamanya.
Namun, inti dari pengorbanan sehari-hari masih relevan bagi orang percaya saat ini. Meskipun kita tidak mempersembahkan korban hewan, kita harus terus-menerus melakukan latihan spiritual dalam mencari kehadiran Tuhan. Hal ini mencakup mengakui dosa-dosa kita setiap hari, bertobat, dan mencari pengampunan di dalam Yesus.
1 Yohanes 1:9 (NIV) : “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”
Pencarian sehari-hari akan kehadiran Allah, melalui doa, membaca Firman, dan membina hubungan dengan-Nya, merupakan cerminan dari prinsip yang mendasari pengorbanan sehari-hari dalam Perjanjian Lama. Meskipun dosa-dosa kita telah diampuni satu kali untuk selama-lamanya melalui pengorbanan Yesus, persekutuan kita dengan Allah memerlukan pemeliharaan yang berkelanjutan.
Selain itu, pengorbanan sehari-hari juga dapat dilihat sebagai pengingat akan ketergantungan pada Tuhan dan rahmat-Nya. Ia mengingatkan kita bahwa meskipun kita telah dibenarkan karena iman kepada Kristus, kita masih mempunyai kelemahan dan membutuhkan arahan dan kuasa Tuhan dalam perjalanan rohani kita.
2 Korintus 12:9 : “Katanya kepadaku: Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu; karena dalam kelemahan kuasa-Ku menjadi sempurna. Sebab itu aku akan dengan senang hati bermegah atas kelemahan-kelemahanku, supaya kuasa Kristus berdiam di dalam diriku.”
Arti pengorbanan sehari-hari dalam Perjanjian Lama, meskipun sekarang tidak lagi diperlukan dalam arti literal, tetap relevan dalam konteks pencarian Tuhan yang berkelanjutan dan kebutuhan akan kasih karunia-Nya dalam kehidupan orang percaya. Melalui doa, persekutuan, pengakuan dosa, dan pengakuan akan ketergantungan kita pada Tuhan, kita dapat memelihara hubungan rohani yang dinamis, memperkuat iman kita dan bertumbuh di jalan menuju pengudusan. Pengorbanan Yesus membuka jalan menuju kedekatan dengan Tuhan, dan latihan spiritual setiap hari menjaga hubungan penting ini.
Pengorbanan dan Simbol Yesus: Pandangan Mendalam
Imamat 13:6 memperkenalkan kita pada praktik utama Perjanjian Lama: ritual pengorbanan. Pengorbanan ini, termasuk korban bakaran dan korban perdamaian, merupakan bagian penting dari ibadah Yahudi, namun juga mengandung makna mendalam yang membayangi pelayanan Yesus Kristus, Mesias yang dijanjikan. Mari kita telusuri peran pengorbanan-pengorbanan ini dan bagaimana pengorbanan-pengorbanan tersebut melambangkan pengorbanan Yesus yang terakhir.
Korban bakaran adalah salah satu ritual yang paling umum dalam Perjanjian Lama, dan melibatkan persembahan seekor binatang, biasanya seekor domba, sebagai suatu tindakan penyembahan kepada Tuhan. Hewan tersebut dibakar seluruhnya di atas altar, melambangkan penyerahan diri total kepada Tuhan. Tindakan penyembahan dan penyerahan diri ini menunjuk pada persembahan definitif Yesus, Anak Domba Allah.
Yohanes 1:29 (NIV) : “Keesokan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya, dan berkata, Lihatlah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia.”
Bagian dari Injil Yohanes ini dengan jelas mengidentifikasi Yesus sebagai Anak Domba Allah. Sama seperti anak domba yang dipersembahkan sebagai korban, Yesus rela mempersembahkan diri-Nya untuk menanggung dosa dunia. Kematian-Nya di kayu salib merupakan pengorbanan terakhir yang menutupi segala dosa umat manusia.
Aspek penting lainnya dari ritual pengorbanan adalah persembahan persembahan perdamaian. Persembahan ini merupakan tanda persekutuan dan rekonsiliasi antara Allah dan umat-Nya. Itu adalah simbol perdamaian yang dihasilkan dari penebusan dosa. Namun, bahkan persembahan perdamaian pun menunjuk pada pelayanan Yesus.
Roma 5:1 (NIV) : “Sebab itu, karena kita dibenarkan karena iman, kita mempunyai perdamaian dengan Allah melalui Tuhan kita Yesus Kristus.”
Melalui karya Yesus di kayu salib, kita telah dibenarkan karena iman dan kini menikmati perdamaian dengan Tuhan. Dia adalah agen rekonsiliasi yang sejati, dan karya-Nya di kayu salib telah membawa kedamaian abadi bagi semua orang yang percaya kepada-Nya.
Simbologi Perjanjian Lama tidak hanya sebatas pengorbanan saja, tetapi juga mencakup peran pendeta dalam melaksanakan ritual tersebut. Para imam bertindak sebagai perantara antara Tuhan dan umat, mewakili umat di hadapan Tuhan dan melakukan ritual penebusan.
Ibrani 4:14-16 (NIV) : “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yaitu Yesus, Anak Allah, yang telah naik ke surga, baiklah kita berpegang teguh pada pengakuan kita. Sebab kita tidak mempunyai Imam Besar yang tidak dapat bersimpati terhadap kelemahan-kelemahan kita; tetapi dia, seperti kita, telah dicobai dalam segala hal, namun tidak berbuat dosa. Karena itu marilah kita datang dengan penuh keyakinan ke takhta kasih karunia, agar kita dapat memperoleh belas kasihan dan menemukan kasih karunia, sehingga kita dapat ditolong pada saat kita membutuhkannya. ”
Yesus tidak hanya memenuhi peran Anak Domba Allah, namun juga Imam Besar kita yang kekal. Dia menjadi perantara bagi kita di hadapan Tuhan dan memberi kita akses langsung ke takhta kasih karunia. Kasih sayang-Nya, identifikasi-Nya terhadap kelemahan-kelemahan kita, dan kekudusan-Nya yang tanpa dosa menjadikan Dia perantara yang sempurna bagi semua orang percaya.
Ritual pengorbanan dan simbologi Perjanjian Lama memainkan peran penting dalam mempersiapkan kedatangan Yesus. Mereka menunjuk pada pengorbanan Yesus yang unik dan sempurna, Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia dan membangun perdamaian dengan Allah. Selain itu, Yesus juga berperan sebagai Imam Besar, menjadi mediator kita di hadapan Tuhan. Dengan demikian, memahami simbol-simbol Perjanjian Lama ini memperkaya pemahaman kita terhadap rencana penebusan Allah melalui Kristus.
Tujuan Persembahan Perdamaian: Rasa Syukur dan Persatuan dengan Tuhan
Persembahan perdamaian, yang disebutkan dalam Imamat 6:12-13, merupakan bagian penting dari ritual ibadah Perjanjian Lama. Meskipun mereka bukan korban penghapus dosa seperti korban bakaran, mereka memainkan peran penting dalam hubungan antara umat Israel dan Tuhan. Persembahan ini merupakan bentuk rasa syukur dan persekutuan dengan Sang Pencipta, yang memungkinkan orang-orang mengungkapkan penghargaan mereka atas berkah-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Persembahan perdamaian merupakan salah satu cara untuk mengakui banyaknya berkat yang Tuhan curahkan ke dalam kehidupan individu atau komunitas. Itu merupakan wujud rasa syukur atas hasil panen yang melimpah, perlindungan, kesejahteraan dan kedamaian. Para jamaah membawa sebagian persembahan, biasanya daging, sebagai simbol rasa syukur mereka kepada Tuhan.
Mazmur 107:21-22 : “Pujilah Tuhan atas kebaikan-Nya dan perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan-Nya terhadap anak-anak manusia. Dan persembahkanlah kurban pujian, dan laporkan pekerjaan mereka dengan gembira.”
Mazmur ini mendesak kita untuk mempersembahkan “pengorbanan rasa syukur,” mengakui karya Tuhan yang menakjubkan dalam hidup kita. Persembahan perdamaian merupakan cara nyata untuk melakukan hal ini, sebuah tindakan ibadah yang mengungkapkan penghargaan kita atas berkat Tuhan.
Selain rasa syukur, persembahan perdamaian juga merupakan salah satu cara menjalin persekutuan dengan Tuhan. Mereka disantap dalam perjamuan suci yang melibatkan pendeta, penyembah, dan Tuhan. Perjamuan ini melambangkan persekutuan dan rekonsiliasi antara manusia dan Tuhan. Itu adalah cara untuk memperkuat hubungan spiritual dan memperdalam hubungan antara Sang Pencipta dan umat-Nya.
Keluaran 24:11 (NIV) : “Tetapi dia tidak mengulurkan tangannya kepada orang-orang pilihan bani Israel, tetapi mereka melihat Allah, lalu makan dan minum.”
Ayat ini menggambarkan sebuah adegan di mana para pemimpin Israel mempunyai pengalaman khusus dalam persekutuan dengan Tuhan. Mereka melihat Tuhan dan makan bersama di hadirat-Nya. Pengalaman persekutuan ini merupakan hal mendasar dalam ibadah kepada Tuhan.
Dalam konteks Kekristenan, persembahan perdamaian Perjanjian Lama mempunyai korelasi rohani yang penting. Meskipun kita tidak mempersembahkan kurban daging, kita tetap dipanggil untuk mempersembahkan kurban syukur dan pujian kepada Tuhan.
Ibrani 13:15 (NIV) : “Karena itu melalui Yesus marilah kita senantiasa mempersembahkan kurban pujian kepada Allah, yang diucapkan oleh bibir yang mengaku nama-Nya.”
Ayat dalam surat Ibrani ini mendesak kita untuk mempersembahkan “korban pujian” kepada Allah. Daripada mengorbankan hewan, kita mempersembahkan hati kita sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Prinsip mengungkapkan rasa syukur dan mengupayakan persekutuan dengan Tuhan tetap relevan meskipun bentuk ibadah telah berkembang.
Tujuan persembahan perdamaian dalam Perjanjian Lama adalah untuk mengungkapkan rasa syukur dan mencari persekutuan dengan Tuhan. Meskipun praktik spesifiknya telah berubah selama berabad-abad, prinsip dasar mengakui berkat Tuhan dan mencari hubungan dengan-Nya tetap penting dalam iman Kristen. Kita mempersembahkan hati dan kata-kata kita sebagai “pengorbanan rasa syukur” sebagai pengakuan atas tak terhitung banyaknya berkat yang Tuhan limpahkan kepada kita. Praktik ini memperkuat hubungan kita dengan Bapa surgawi dan menjaga kita tetap dalam persekutuan dengan-Nya.
Relevansi bagi Umat Percaya Saat Ini: Pelajaran dari Masa Lalu untuk Masa Kini
Perikop dari Imamat 6: dan praktik ritual pengorbanan dan persembahan perdamaian, meskipun berakar pada konteks Perjanjian Lama, masih menyimpan pelajaran berharga dan dapat diterapkan bagi orang percaya saat ini. Meskipun bentuk peribadatan telah berkembang, prinsip-prinsip yang mendasari praktik spiritual ini terus menjadi sumber bimbingan dan inspirasi bagi umat Kristiani modern.
Pertama, penekanan untuk terus mencari hadirat Tuhan merupakan pelajaran abadi yang tetap relevan. Sama seperti para imam Perjanjian Lama mempersembahkan kurban setiap hari di Kemah Suci, orang-orang percaya masa kini juga dipanggil untuk terus mencari kehadiran Allah dalam kehidupan mereka.
Yakobus 4:8 (NIV) : “Mendekatlah kepada Allah, maka Dia akan mendekat kepadamu! Orang-orang berdosa, sucikanlah tanganmu, dan kamu yang terbagi-bagi pikiran, sucikanlah hatimu.”
Pencarian rohani sehari-hari ini melibatkan doa, membaca Firman Tuhan, dan bersekutu dengan orang percaya lainnya. Ini merupakan pengingat bahwa meskipun dosa telah diampuni melalui pengorbanan Yesus, hubungan kita dengan Tuhan memerlukan pemeliharaan terus-menerus.
Selain itu, penekanan pada rasa syukur dan persekutuan dengan Tuhan juga sangat relevan bagi orang percaya saat ini. Persembahan perdamaian merupakan salah satu cara nyata untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat Tuhan. Demikian pula umat Kristiani dianjurkan untuk mempersembahkan kurban pujian dan rasa syukur kepada Tuhan.
1 Tesalonika 5:16-18 (NIV) : “Bersukacitalah selalu, senantiasa berdoa, mengucap syukur dalam segala keadaan; sebab inilah yang dikehendaki Allah bagi kamu di dalam Kristus Yesus.”
Bagian ini mengajarkan kita untuk mengucap syukur dalam segala keadaan, sebuah praktik yang mencerminkan esensi dari persembahan perdamaian Perjanjian Lama. Bersyukur kepada Tuhan atas nikmat-Nya menguatkan iman kita dan menjaga hati kita tetap fokus kepada-Nya.
Selain itu, penekanan untuk terus mencari hadirat dan rasa syukur kepada Tuhan juga terkait dengan perlunya menjaga hubungan yang intim dengan Sang Pencipta. Hal ini mengingatkan kita bahwa ibadah bukan sekadar ibadah, namun sarana membangun hubungan pribadi dengan Tuhan.
Oleh karena itu, relevansi prinsip-prinsip spiritual ini bagi umat beriman saat ini tidak dapat disangkal. Hal-hal tersebut mengingatkan kita bahwa iman kita adalah sebuah perjalanan yang terus-menerus, pencarian yang terus-menerus akan kehadiran Allah, ungkapan rasa syukur yang terus-menerus, dan sebuah kesempatan untuk memperkuat hubungan kita dengan Bapa surgawi kita. Meskipun praktik keagamaan telah berkembang selama berabad-abad, prinsip-prinsip dasar pencarian spiritual, rasa syukur, dan persekutuan dengan Tuhan tetap menjadi dasar iman yang hidup dan bermakna. Oleh karena itu, ketika melihat ayat dari Imamat 6:13, orang percaya saat ini diingatkan bahwa pelajaran di masa lalu masih memainkan peran penting dalam kehidupan rohani mereka.
Kesimpulan
Saat kita menelusuri ayat dari Imamat 6:13 dan ritual pengorbanan serta persembahan perdamaian yang dijelaskan di dalamnya, kita menemukan pelajaran abadi yang melampaui konteks Perjanjian Lama dan tetap sangat relevan bagi orang percaya saat ini.
Salah satu pelajaran yang paling mencolok adalah pentingnya senantiasa mencari kehadiran Tuhan. Meskipun ritual pengorbanan telah berubah, prinsip pencarian spiritual sehari-hari tetap tidak berubah. Sebagai umat Kristiani, kita dipanggil untuk mencari Tuhan dalam doa, penyembahan dan pembelajaran Firman. Sama seperti para imam di Kemah Suci yang mempersembahkan kurban setiap hari, kita juga harus memelihara hubungan yang berkesinambungan dengan Tuhan kita, menyadari bahwa penebusan Yesus memampukan kita untuk dengan berani mencari hadirat Allah.
Lebih jauh lagi, persembahan perdamaian dalam Perjanjian Lama mengingatkan kita akan pentingnya rasa syukur dan persekutuan dengan Tuhan. Tindakan bersyukur kepada Tuhan atas berkat-berkat-Nya dan mencari persekutuan dengan-Nya merupakan ekspresi iman dan hubungan kita yang berkelanjutan dengan Bapa surgawi kita. Meski praktik ibadah telah berkembang, namun esensi bersyukur kepada Tuhan dan membina hubungan intim dengan-Nya tetap tidak berubah.
Kita juga melihat bagaimana ritual-ritual Perjanjian Lama ini melambangkan pengorbanan sempurna Yesus, Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Yesus tidak hanya memenuhi peran Anak Domba, namun juga menjadi Imam Besar kita yang kekal, menjadi perantara bagi kita di hadapan Allah. Pengorbanan-Nya yang unik dan mediasi-Nya yang terus-menerus memberi kita akses langsung ke takhta kasih karunia.
Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa pelajaran yang diambil dari ibadah Perjanjian Lama memiliki relevansi abadi dalam perjalanan rohani kita. Mencari kehadiran Tuhan, mengucap syukur dan menjaga persekutuan dengan Bapa adalah prinsip-prinsip yang menguatkan iman kita dan mendekatkan kita kepada Tuhan. Pengorbanan Yesus, yang menggenapi dan melampaui semua ritual pengorbanan dalam Perjanjian Lama, mengundang kita untuk terus-menerus hidup dalam pemujaan dan hubungan dengan Juruselamat kita.
Seiring kemajuan iman kita, semoga pelajaran Perjanjian Lama ini menjadi pengingat bahwa ibadah kita adalah cerminan hubungan kita dengan Allah, hubungan yang dipelihara melalui pengorbanan Yesus dan dipelihara oleh upaya kita yang terus-menerus untuk hadirat-Nya. Semoga pemahaman mendalam ini mengilhami kita untuk menjalani kehidupan penuh rasa syukur, persekutuan, dan ibadah yang tulus, menghormati Tuhan yang mengasihi kita tanpa syarat.