Matius 19:6 – Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia

Published On: 14 de September de 2023Categories: Pelajaran Alkitab

Keluarga adalah institusi ketuhanan yang memainkan peran sentral dalam pandangan dunia Kristen. Ayat kunci untuk pelajaran kita, yang terdapat dalam Matius 19:6, mengatakan kepada kita, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ayat ini merupakan jangkar untuk memahami pentingnya keluarga menurut prinsip-prinsip alkitabiah. Mari kita telusuri kebenaran ini secara mendalam dan komprehensif dalam delapan topik.

Tujuan Keluarga dalam Penciptaan Ilahi: Pendekatan Mendalam dan Berbasis Alkitab

Ketika memasuki pembelajaran alkitabiah tentang keluarga ini, penting untuk memulai dengan tujuannya dalam penciptaan ilahi, sebuah tema yang bergema di seluruh Kitab Suci. Ayat kunci dari pelajaran kita, Matius 19:6 , yang mengatakan, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Namun, untuk memahami sepenuhnya pernyataan ini, kita harus kembali ke awal, ke kitab Kejadian, di mana fondasi keluarga diletakkan.

Dalam pasal pertama Alkitab, kita diperkenalkan dengan karya penciptaan yang agung. Allah, Sang Pencipta yang berdaulat, menyatakan kehendak-Nya ketika menciptakan pria dan wanita menurut gambar dan rupa-Nya.Kejadian 1:26-28 ” Lalu Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita. Biarlah dia berkuasa atas ikan-ikan di laut, atas burung-burung di udara, atas binatang-binatang besar di seluruh bumi, dan atas segala binatang kecil yang merayap di bumi.” Tuhan menciptakan manusia menurut gambarnya sendiri, menurut gambar Tuhan dia menciptakannya; laki-laki dan perempuan, Dia menciptakan mereka. Tuhan memberkati mereka dan berkata kepada mereka: “Jadilah subur dan berkembang biak! Isi dan taklukkan bumi! Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, atas burung-burung di udara, dan atas segala binatang yang bergerak di bumi.”Tindakan luhur ini merupakan gambaran akan pentingnya keluarga sebagai cerminan Tuhan sendiri, yang merupakan trinitas Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dengan demikian, tujuan keluarga dalam penciptaan Ilahi mulai terungkap.

Namun, dalam Kejadian 2:24 kita menemukan pernyataan utama mengenai tujuan keluarga dalam Alkitab: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan bapaknya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. . ” Persatuan yang ditahbiskan secara ilahi ini mengungkapkan keharmonisan yang intim antara pria dan wanita, suatu persekutuan yang mencerminkan persekutuan itu sendiri dalam Trinitas ilahi.

Ungkapan “seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya” menyiratkan perpisahan secara fisik, namun juga memiliki makna yang lebih dalam. Ini adalah panggilan untuk mengutamakan hubungan perkawinan, menjadikannya sebagai hubungan yang paling berarti setelah hubungan manusia dengan Tuhan. Penetapan prioritas ini memberikan landasan yang kuat bagi keluarga, karena landasan perkawinan yang kokoh akan memberikan landasan yang kokoh dalam membesarkan anak.

Bagian kedua dari ayat ini – “dan dia akan bersatu dengan istrinya, dan mereka akan menjadi satu daging” – adalah singgungan terhadap keintiman fisik, tetapi lebih dari itu. Ini menunjukkan kesatuan spiritual, emosional dan mental antara pria dan wanita. Di sini, kita menyadari bahwa tujuan keluarga dalam penciptaan ilahi lebih dari sekadar reproduksi; Ini adalah kesatuan yang mencakup seluruh aspek kehidupan pernikahan.

Kesatuan ini mencerminkan gambar Allah, yang merupakan persekutuan sempurna dalam kodrat tritunggal-Nya. Oleh karena itu, pernikahan mencerminkan Tritunggal ilahi dan menunjukkan pentingnya persekutuan dan kesatuan dalam kehidupan keluarga. Di dalam unit inilah keluarga menjadi ruang dimana nilai-nilai, prinsip dan kasih Tuhan diwariskan dari generasi ke generasi.

Untuk lebih memperkuat pentingnya keluarga dalam penciptaan ilahi, kita harus mempertimbangkan tatanan penciptaan itu sendiri. Sebelum menciptakan gereja, Tuhan menciptakan keluarga. Pernikahan adalah institusi ilahi pertama yang didirikan, dan keluarga dirancang untuk menjadi konteks ideal bagi perkembangan spiritual, emosional, dan sosial umat manusia.

Oleh karena itu, tujuan keluarga dalam penciptaan Ilahi adalah menjadi cerminan cinta, kesatuan dan persekutuan yang terdapat dalam Tritunggal Ilahi. Ini adalah tempat di mana nilai-nilai moral dan spiritual dipupuk, di mana anak-anak belajar tentang Tuhan, dan di mana cinta dan komitmen timbal balik ditunjukkan. Saat kita menggali lebih dalam tujuan ini, kita diingatkan bahwa keluarga adalah anugerah sakral dari Allah, dan merupakan tanggung jawab kita untuk menghormatinya dan menjalankan prinsip-prinsip yang telah Dia tetapkan sejak awal.

Pernikahan sebagai Perjanjian: Perspektif Alkitabiah yang Mendalam

Pernikahan, sebagaimana dijelaskan dalam Alkitab, lebih dari sekedar persatuan yang sah atau sosial; Itu adalah perjanjian ilahi yang ditetapkan oleh Tuhan. Tuhan menciptakan pria dan wanita dan, dengan menyatukan pasangan pertama Adam dan Hawa, menetapkan pernikahan sebagai ikatan suci. Perjanjian ini dimeteraikan di hadapan Allah, menjadikannya elemen ketiga dalam hubungan tersebut.

Tindakan menyegel aliansi menyiratkan komitmen, kesetiaan, dan tanggung jawab. Pernikahan, oleh karena itu, bukan sekedar kontrak sosial, namun sebuah perjanjian di mana pasangan berkomitmen di hadapan Allah untuk mencintai, menghormati, peduli dan menghormati satu sama lain. Perjanjian ini mencerminkan hubungan antara Kristus dan gereja-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam Efesus 5:31-32.

Dalam konteks ini, pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan begitu saja. Ketika Yesus menjawab pertanyaan orang Farisi tentang perceraian di Matius 19, Ia menekankan bahwa perceraian bukanlah rencana awal Tuhan, namun diperbolehkan karena kekerasan hati manusia. Namun, Ia juga menekankan pentingnya perjanjian dan rekonsiliasi jika memungkinkan (Matius 19:8-9).

Metafora perjanjian bahkan lebih mendalam ketika kita memikirkan perjanjian antara Allah dan umat-Nya di seluruh Alkitab. Tuhan selalu menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang menepati janji-janji-Nya dan tetap setia pada perjanjian-Nya, bahkan ketika manusia tidak setia. Kesetiaan ilahi ini menjadi teladan dalam pernikahan, di mana setiap pasangan dipanggil untuk setia satu sama lain, apa pun keadaannya.

Lebih jauh lagi, ikatan perkawinan melampaui aspek hukum. Ini adalah kesatuan spiritual dan emosional di mana pasangan berbagi kehidupan, impian, suka dan duka. Ini adalah komitmen untuk saling mendukung dalam segala musim kehidupan, tempat di mana rahmat dan pengampunan dipraktikkan, sehingga mencerminkan rahmat Ilahi yang diberikan kepada kita.

Pernikahan perjanjian, sebagaimana diungkapkan dalam Alkitab, adalah persatuan sakral, yang dimeteraikan di hadirat Allah. Ini adalah komitmen yang tidak dapat dipatahkan, suatu hubungan kasih dan kesetiaan yang mencerminkan hubungan antara Kristus dan gereja-Nya. Sewaktu kita memahami kebenaran ini, kita ditantang untuk menghormati perjanjian pernikahan, mengupayakan rekonsiliasi di masa-masa sulit, dan mencerminkan kesetiaan ilahi dalam hubungan pernikahan kita.

Perjanjian Cinta dalam Keluarga: Sebuah Komitmen dalam Terang Alkitab

Konsep perjanjian cinta dalam keluarga, sebagaimana didasarkan pada Kitab Suci, melampaui konvensi sosial dan hukum. Itu adalah janji bersama, komitmen yang ditetapkan secara ilahi yang meletakkan landasan kokoh bagi kehidupan keluarga. Ketika Yesus memproklamirkan dalam Matius 19:6 , “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia,” ia menekankan pentingnya perjanjian kasih ini dalam pandangan Kristen tentang keluarga.

Untuk memperdalam pemahaman kita tentang perjanjian kasih dalam keluarga, kita beralih pada perkataan Yesus dan prinsip-prinsip alkitabiah yang mendasarinya. Dalam konteks ayat ini, orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus tentang perceraian, dan Ia membawa mereka kembali ke masa penciptaan, ke kitab Kejadian, untuk mendukung jawaban mereka. Hal ini mengajarkan kita bahwa pernikahan dan perjanjian cinta telah ditetapkan sejak awal penciptaan sebagai bagian dari rencana ilahi.

Lebih jauh lagi, perjanjian kasih sayang dalam keluarga bukan hanya sekedar komitmen antara suami dan istri, namun juga komitmen kepada Tuhan. Kehadiran Tuhan sebagai saksi dalam upacara perkawinan menjadikannya sakral dan mengikat pasangan pada suatu perjanjian Ilahi. Inilah sebabnya mengapa perceraian dipandang dalam Alkitab sebagai pelanggaran terhadap perjanjian dan sesuatu yang dibenci Allah (Maleakhi 2:16).

Namun, Alkitab tidak mengabaikan realitas dosa dan ketidaksempurnaan manusia. Yesus menyebutkan mengizinkan perceraian dalam kasus percabulan (Matius 19:9), namun bahkan dalam situasi seperti ini, perceraian tidak dianjurkan, dan rekonsiliasi harus selalu diupayakan.

Tanggung Jawab Orang Tua: Membimbing dan Mengajar dalam Terang Alkitab

Dalam konteks mempelajari keluarga berdasarkan Alkitab, sangatlah penting untuk membahas tanggung jawab sebagai orang tua. Alkitab penuh dengan bimbingan tentang peran penting orang tua dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka. Saat kita memikirkan Matius 19:6, kita harus ingat bahwa keluarga adalah arena di mana prinsip-prinsip ilahi diturunkan dari generasi ke generasi.

Untuk memahami tanggung jawab orang tua yang alkitabiah, kita mengacu pada Kitab Suci sebagai panduan utama kita. Kitab Amsal misalnya, kaya akan sumber hikmah dalam mendidik anak. Amsal 22:6 menyatakan, ”Didiklah seorang anak menurut jalan yang seharusnya ia tempuh, dan apabila ia tua ia tidak akan menyimpang darinya.” Ayat ini menekankan pentingnya mengarahkan anak pada jalan kebenaran sejak dini.

Selain itu, rasul Paulus menasihati para orang tua dalam Efesus 6:4 , dengan mengatakan, ” Dan kamu, para ayah, jangan membuat anak-anakmu marah, tetapi besarkanlah mereka dalam didikan dan nasihat Tuhan.” Di sini, kita melihat penekanan pada perlunya mendidik anak-anak dalam konteks spiritual, menyampaikan kepada mereka ajaran dan nilai-nilai Tuhan.

Prinsip penting lainnya ditemukan dalam Ulangan 6:6-7 , di mana Allah memberikan instruksi kepada para orang tua: “Dan perkataan ini, yang aku perintahkan kepadamu pada hari ini, hendaknya kamu simpan di dalam hatimu; Dan kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu, dan membicarakannya ketika kamu duduk di rumahmu, dan ketika kamu berjalan di jalan, dan ketika kamu berbaring, dan ketika kamu bangun.”Ayat ini menekankan bahwa pendidikan anak-anak harus konstan dan diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, yang melibatkan komitmen berkelanjutan untuk mengajarkan perintah-perintah dan firman Allah.

Keteladanan orang tua dalam kehidupan anak-anaknya juga tak kalah penting. Anak-anak belajar tidak hanya dari perkataan orang tuanya, tapi dari apa yang mereka lakukan. Yesus menekankan pentingnya teladan orang tua ketika Dia berkata: “Karena itu jadilah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48). Orang tua dipanggil untuk menjadi teladan kebajikan, kasih sayang, pengampunan dan pelayanan.

Namun, tanggung jawab orang tua tidak terbatas pada pendidikan spiritual saja. Mereka juga mempunyai peran dalam menafkahi dan melindungi keluarganya. Rasul Paulus menulis dalam 1 Timotius 5:8 : “Tetapi jika ada orang yang tidak memperhatikan dirinya sendiri, terutama keluarganya, ia murtad dan lebih buruk dari orang kafir.” Hal ini menyoroti pentingnya penyediaan materi dan emosional bagi keluarga.

Tanggung jawab sebagai orang tua, menurut Alkitab, adalah tugas yang sakral dan mencakup segalanya. Itu mencakup pengajaran rohani, disiplin penuh kasih, teladan bajik, dan penyediaan bagi keluarga. Orang tua dipanggil untuk menjadi pemimpin rohani di rumah mereka, mewariskan prinsip-prinsip ilahi kepada generasi berikutnya. Ketika orang tua memenuhi tanggung jawab ini dengan ketekunan dan kasih, mereka berkontribusi terhadap penguatan keluarga dan kehormatan rencana Allah.

Peran Suami dan Istri: Hubungan Berdasarkan Alkitab

Dalam konteks pembelajaran keluarga yang berdasarkan Alkitab, sangatlah penting untuk mengeksplorasi peran suami dan istri. Alkitab memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana hubungan ini harus dibentuk dan dipertahankan. Penting untuk memahami bagaimana aliansi pernikahan dibangun dari peran suami dan istri yang saling melengkapi.

Dimulai dengan perkataan Paulus dalam Efesus 5:22-33, kita menemukan salah satu teks paling komprehensif tentang peran suami dan istri dalam Alkitab. Paulus memulai dengan memerintahkan para istri untuk tunduk kepada suami mereka sesuai dengan kepemimpinan Kristus yang penuh kasih. Namun ketundukan ini bukanlah ketundukan yang bersifat budak, melainkan respons terhadap kasih sayang dan perhatian suami.

Suami, pada gilirannya, dipanggil untuk mengasihi istrinya dengan cara yang sama seperti Kristus mengasihi gereja, memberikan diri-Nya bagi isterinya. Artinya, peran suami adalah menjadi pemimpin yang penuh kasih sayang, protektif, dan pemberi nafkah yang mengupayakan kesejahteraan spiritual dan emosional istrinya. Hubungan antara suami dan istri diibaratkan dengan hubungan antara Kristus dan gerejanya, yang menekankan kasih yang berkorban.

Ayat lain yang relevan adalah Kolose 3:18-19 , di mana Paulus menulis: “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu sendiri, sebagaimana yang pantas di dalam Tuhan. Para suami, kasihilah istrimu dan jangan marah kepada mereka.” Hal ini menyoroti pentingnya ketundukan istri secara sukarela, bukan sebagai suatu pemaksaan, namun sebagai tindakan ketaatan kepada Tuhan. Demikian pula, para suami diperintahkan untuk mencintai istrinya dan tidak bersikap getir atau tidak peka dalam kepemimpinannya.

Alkitab juga menekankan bahwa suami dan istri sama-sama ahli waris kasih karunia Allah (1 Petrus 3:7). Artinya keduanya mempunyai martabat dan nilai yang sama di hadapan Tuhan, meskipun keduanya mempunyai peran yang saling melengkapi dalam perkawinan. Kesetaraan martabat tidak meniadakan perbedaan peran, namun memperkuat gagasan bahwa keduanya adalah mitra yang sama pentingnya dalam ikatan pernikahan.

Mereka dipanggil untuk saling mendukung, berdoa bersama, dan bertumbuh secara rohani bersama. Peran suami istri dalam Alkitab adalah hubungan yang dilandasi kasih, saling tunduk, dan kepemimpinan yang penuh kasih. Ini adalah kemitraan di mana keduanya memiliki martabat dan kepentingan yang setara, namun memainkan peran yang saling melengkapi. Ketika suami dan istri mengikuti pedoman alkitabiah ini, mereka sedang membangun landasan yang kokoh bagi pernikahan mereka, yang mencerminkan kasih dan perjanjian Kristus dengan gereja-Nya.

Mengasihi dan Memaafkan dalam Keluarga: Prinsip-Prinsip Dasar Kitab Suci

Dalam konteks mempelajari keluarga berdasarkan Kitab Suci, penting untuk membahas tema kasih dan pengampunan. Asas-asas ini merupakan landasan hubungan keluarga dan memainkan peranan penting dalam memahami pesan Matius 19.

Dimulai dengan kasih, Alkitab dengan jelas menekankan pentingnya kasih. Cinta dipandang sebagai hakikat karakter Tuhan, dan itulah yang seharusnya menjadi pedoman hubungan keluarga. Yesus memerintahkan kita dalam Matius 22:37-39 untuk mengasihi Tuhan Allah kita dengan segenap hati dan mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Di dalam keluarga, instruksi ini berlaku secara khusus.

Rasul Paulus juga membahas kasih dalam keluarga dalam 1 Korintus 13, yang sering disebut “Bab Kasih”. Ia menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang sabar, baik hati, tidak iri hati, tidak sombong, tidak kasar, tidak egois, tidak mudah tersinggung, tidak dendam, tetapi justru bersukacita. Ciri-ciri tersebut harus terlihat dalam hubungan keluarga, karena cinta adalah ikatan yang sempurna.

Selain itu, Alkitab memerintahkan para orang tua untuk menyayangi anak-anak mereka dan menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang di rumah. Efesus 6:4 menasihati para orang tua untuk membesarkan anak-anak mereka “dalam disiplin dan nasihat Tuhan,” yaitu dalam konteks kasih dan pengajaran prinsip-prinsip dan nilai-nilai Kristen. Kasih sayang orang tua sangat penting bagi perkembangan anak yang sehat.

Mengenai pengampunan, Alkitab juga memberikan panduan yang jelas. Yesus mengajarkan kita pentingnya pengampunan dalam Matius 6:14-15, di mana Ia menyatakan bahwa jika kita tidak mengampuni orang lain, Bapa Surgawi kita juga tidak akan mengampuni kita. Pengampunan sangat penting untuk menjaga keharmonisan dalam hubungan keluarga.

Rasul Paulus menasihati dalam Kolose 3:13 dengan mengatakan, ”Saling bersabar, ampunilah satu sama lain jika ada yang mempunyai keluh kesah terhadap orang lain. Sebagaimana Tuhan telah mengampuni kamu, maka maafkanlah kamu.”Pengampunan bukanlah sebuah pilihan, namun sebuah tanggung jawab Kristen. Mengampuni berarti mengikuti teladan Kristus, yang mengampuni kita meskipun kita melakukan kesalahan.

Pentingnya pengampunan dalam keluarga terlihat jelas ketika kita mempertimbangkan perselisihan dan perselisihan yang tak terelakkan yang terjadi di setiap rumah tangga. Pengampunan tidak hanya memulihkan kedamaian, namun juga memperkuat ikatan keluarga dan memungkinkan pertumbuhan spiritual dan emosional.

Singkatnya, kasih dan pengampunan adalah prinsip dasar dalam hubungan keluarga, menurut Kitab Suci. Cinta kasih adalah fondasi yang di atasnya keluarga harus dibangun, yang mencerminkan kasih Tuhan. Pengampunan adalah perekat yang menjaga kesatuan dan keharmonisan dalam keluarga, mengikuti teladan Kristus. Ketika diterapkan, asas-asas ini memperkuat ikatan keluarga dan memungkinkan keluarga memenuhi tujuan ilahi mereka.

Dampak Doa pada Keluarga: Persekutuan dengan Tuhan dan Satu Sama Lain

Ketika kita menelusuri dinamika keluarga dari sudut pandang Alkitab, doa muncul sebagai elemen yang sangat penting. Alkitab menekankan pentingnya doa sebagai sarana memperkuat ikatan keluarga dan meningkatkan persekutuan dengan Tuhan. Saat kita merenungkan pernyataan dalam Matius 19, kita memahami bahwa doa memainkan peran penting dalam memelihara persatuan yang telah ditetapkan secara ilahi ini.

Doa adalah tindakan komunikasi dengan Tuhan, dan ketika sebuah keluarga berdoa bersama, mereka memperkuat hubungan spiritual mereka. Alkitab mendorong kita untuk “berdoa tanpa henti” (1 Tesalonika 5:17) , yang berarti bahwa doa harus menjadi bagian yang terus-menerus dalam kehidupan keluarga. Melalui doa, keluarga dapat berbagi kegembiraan, kekhawatiran dan kebutuhan mereka dengan Tuhan, mencari bimbingan dan perlindungan-Nya.

Yesus sendiri mengajarkan kita untuk berdoa bersama keluarga dalam Matius 18:20 : “Sebab jika dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka.” Janji kehadiran-Nya ini memperkuat ikatan rohani keluarga dan menciptakan lingkungan ibadah dan persekutuan.

Doa juga memainkan peran penting dalam menyelesaikan konflik dan mendorong pengampunan dalam keluarga. Ketika anggota keluarga berkumpul dalam doa, mereka memiliki kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka, mengupayakan rekonsiliasi, dan meminta bantuan Tuhan dalam mengatasi tantangan. Doa menciptakan ruang untuk kerendahan hati dan mencari pengampunan, mengikuti teladan Kristus.

Lebih jauh lagi, doa keluarga adalah kesempatan untuk mengajar dan meneladani iman kepada anak-anak Anda. Ulangan 6:6-7 memberi instruksi kepada kita dengan mengatakan: “Dan perkataan ini, yang aku perintahkan kepadamu pada hari ini, haruslah kamu simpan di dalam hatimu; Dan kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu, dan membicarakannya ketika kamu duduk di rumahmu, dan ketika kamu berjalan di jalan, dan ketika kamu berbaring, dan ketika kamu bangun.” Doa keluarga adalah cara praktis untuk memenuhi tanggung jawab ini, mengajar anak-anak tentang kekuatan iman dan komunikasi dengan Tuhan.

Doa juga meningkatkan rasa syukur dan pengakuan atas nikmat Tuhan dalam kehidupan keluarga. Filipi 4:6-7 mengingatkan kita, “Janganlah kamu kuatir akan apa pun, tetapi dalam segala hal, dengan berdoa dan memohon, dengan mengucap syukur, sampaikanlah permohonanmu kepada Allah. Dan damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan menjaga hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Doa syukur menguatkan ikatan kekeluargaan dengan mengenali nikmat dan menumbuhkan sikap syukur.

Singkatnya, dampak doa terhadap keluarga sangatlah besar dan transformatif. Doa meningkatkan persekutuan dengan Tuhan dan satu sama lain, memperkuat ikatan spiritual, membantu menyelesaikan konflik, mendorong pengampunan, mengajarkan iman kepada anak-anak dan menumbuhkan rasa syukur. Itu adalah alat yang ampuh untuk menjaga kesatuan keluarga dan menghadapi tantangan hidup dengan bimbingan ilahi. Ketika sebuah keluarga berdoa bersama, mereka menaruh kepercayaan mereka pada Tuhan yang menyatukan dan menjaga mereka tetap bersama.

Kesimpulan

Ketika mengkaji keluarga dari sudut pandang Alkitab, kita tidak bisa tidak menyoroti relevansi komunitas Kristen. Alkitab mengajarkan kita bahwa keluarga tidak terisolasi, namun merupakan bagian dari tubuh yang lebih besar – gereja. Saat kita merenungkan Matius 19:6, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia,” kita memahami bahwa komunitas Kristen memainkan peran penting dalam melestarikan dan menumbuhkan keluarga.

Komunitas Kristen menawarkan dukungan emosional dan spiritual kepada keluarga. Di saat suka dan duka, gereja hadir untuk berbagi pengalaman ini. Roma 12:15 mengingatkan kita untuk “Bersukacitalah bersama orang yang bersukacita; dan menangislah bersama orang yang menangis” . Melalui komunitas Kristen, keluarga menemukan kenyamanan, dorongan dan doa pada saat dibutuhkan.

Komunitas Kristen juga merupakan lingkungan di mana keluarga dapat bertumbuh secara rohani. Di Gereja, anggota keluarga memiliki kesempatan untuk beribadah bersama, mempelajari Kitab Suci, melayani orang lain, dan bertumbuh dalam iman mereka. Ibrani 10:24-25 menasihati kita dengan mengatakan: “Dan marilah kita saling memperhatikan, untuk saling mendorong dalam kasih dan perbuatan baik. 25Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan gereja seperti yang biasa dilakukan sebagian orang, tetapi marilah kita saling menguatkan dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang semakin dekat.”

Komunitas Kristen juga memainkan peran mendasar dalam mengajar dan mendukung orang tua dalam membesarkan anak-anak mereka. Gereja menawarkan program pendidikan agama, sekolah minggu, dan kelompok remaja untuk membantu orang tua mewariskan nilai-nilai Kristiani kepada generasi muda. Amsal 22:6 memerintahkan kita, ”Didiklah seorang anak menurut jalan yang seharusnya ia tempuh, dan apabila ia tua ia tidak akan menyimpang darinya.”Komunitas Kristen mendukung instruksi ini.

Selain itu, komunitas Kristen adalah tempat di mana keluarga dapat menemukan mentor dan konselor spiritual. Baik pasangan muda maupun mereka yang lebih berpengalaman dapat memperoleh manfaat dari kebijaksanaan dan bimbingan anggota gereja yang lebih dewasa. Titus 2:3-5 menasihati wanita yang lebih tua untuk mengajar wanita yang lebih muda, dan pertukaran pengalaman ini berharga untuk pertumbuhan keluarga.

Gereja juga memberikan kesempatan bagi keluarga untuk melayani dan berkontribusi pada kerajaan Allah. Pengabdian dan misi masyarakat dapat menjadi kegiatan yang menyatukan keluarga dan memungkinkan anggotanya tumbuh bersama dalam pelayanan kepada orang lain.

Singkatnya, pentingnya komunitas Kristen dalam keluarga terlihat jelas dalam Kitab Suci. Komunitas ini menawarkan dukungan emosional dan spiritual, mendorong pertumbuhan spiritual, membantu pendidikan anak-anak, menyediakan mentor dan peluang layanan. Keluarga tidak sendirian dalam perjalanan iman, namun merupakan bagian dari tubuh yang lebih besar yang mendukung, mendorong dan memperkuat komitmennya kepada Tuhan. Ketika keluarga-keluarga terlibat dalam komunitas Kristen, mereka mengalami pertumbuhan rohani dan memperkuat kesatuan yang telah Allah tetapkan.

Share this article

Written by : Ministério Veredas Do IDE

Leave A Comment