Melalui perikop Roma 12:15, kita akan menyelidiki salah satu perintah yang paling menginspirasi dan menantang dalam Kitab Suci, yang memanggil kita untuk memiliki sikap belas kasih dan empati terhadap saudara dan saudari kita di dalam Kristus.
Bayangkan sebuah komunitas Kristen di mana empati bermekaran seperti bunga musim semi yang lembut, di mana hati bersatu dalam kegembiraan atas pencapaian setiap anggota, dan di mana penghiburan ditawarkan tanpa pamrih kepada hati yang terluka oleh penderitaan. Ya, inilah penglihatan yang kita temukan dalam Roma 12:15. Seruan agar iman kita lebih dari sekadar kata-kata, tetapi manifestasi nyata dari cinta timbal balik dan kepedulian yang tulus.
Surat kepada umat di Roma, yang ditulis oleh Rasul Paulus, adalah harta karun ajaran yang sesungguhnya bagi kehidupan Kristiani. Di dalamnya, kita diajak untuk memahami kasih karunia Allah yang menyelamatkan, pembenaran oleh iman dan perubahan pikiran melalui Roh Kudus. Dan dalam konteks iman yang hidup dan aktif inilah kita menemukan pasal 12, di mana Paulus menyajikan kepada kita visi yang praktis dan konkret tentang bagaimana hidup dalam kekudusan dan kasih, yang mencerminkan citra Kristus.
Hari ini kita akan mendalami ajaran Roma 12:15, mencari bukan hanya pemahaman intelektual tetapi juga hati yang peka terhadap panggilan ilahi untuk bersukacita dengan mereka yang bersukacita dan menangis dengan mereka yang berduka. Mari temukan bagaimana perintah ini menjadi alat yang ampuh untuk membangun komunitas Kristen yang bersatu, berdampak dan transformatif. Persiapkan hati dan pikiranmu, karena perjalanan akan segera dimulai!
Bersukacitalah dengan mereka yang bersukacita
Bagian pertama dari Roma 12:15 mendorong kita untuk ikut merasakan sukacita mereka yang sedang mengalami masa-masa bahagia dan kemenangan dalam hidup mereka. “Bersukacitalah dengan mereka yang bersukacita;” Ini adalah ungkapan kasih dan persekutuan satu sama lain, menyadari bahwa sama seperti kita dipanggil untuk menghibur yang menderita, kita juga harus merayakannya dengan mereka yang bahagia.
Kegembiraan kita yang tulus dan tulus adalah manifestasi dari kasih agape, kasih tanpa pamrih, tanpa pamrih yang dicontohkan dalam Tuhan. Saat kita mengalami kegembiraan orang lain, kita tidak boleh merasa iri atau dengki, tetapi bersukacitalah dengan mereka sebagai bagian dari komunitas yang berbagi berkat Tuhan.
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa kasih adalah inti dari karakter Allah. “Dia yang tidak mencintai tidak mengenal Tuhan; karena Allah adalah kasih.” (1 Yohanes 4:8). Dia bergembira atas makhluk-makhluknya dan kesejahteraan mereka. Sebagai peniru Kristus, kita hendaknya mencerminkan kasih itu sewaktu kita bersukacita dengan orang lain. Kegembiraan ini bukan hanya perasaan sesaat, tetapi sikap hati yang menghasilkan tindakan perayaan dan saling menyemangati.
Namun, dunia di sekitar kita sering memberi kita budaya persaingan dan individualisme, di mana kebahagiaan bagi orang lain langka. Dalam skenario ini, mudah untuk jatuh ke dalam perangkap kecemburuan, membandingkan prestasi kita dengan orang lain dan berusaha menonjol di atas orang lain. Iri hati dapat membutakan kita terhadap berkat yang Tuhan curahkan ke dalam hidup kita sendiri dan menghalangi kita untuk bersukacita atas keberhasilan orang lain.
Meskipun iri hati adalah emosi manusia yang umum, Alkitab memperingatkan dampaknya yang merusak. Dalam kisah Kain dan Habel, kita melihat kecemburuan Kain terhadap perkenanan Tuhan atas persembahan saudaranya, yang menyebabkan dia melakukan pembunuhan pertama yang dicatat dalam Alkitab (Kejadian 4:3-8). Iri hati dapat menyebabkan hati pahit dan tindakan sembrono, merusak tidak hanya hubungan kita dengan Tuhan, tetapi juga dengan orang-orang di sekitar kita.
Sebaliknya, berbagi sukacita adalah tanda kedewasaan dan pertumbuhan rohani di dalam Kristus. Paulus menasihati orang-orang Filipi untuk bersukacita dalam Tuhan dan memiliki sikap kebaikan dan sukacita satu sama lain (Filipi 4:4-5). Sukacita bukan hanya perasaan pribadi, tetapi buah Roh Kudus yang harus diungkapkan dalam komunitas iman kita.
Kisah Maria dan Isabel adalah contoh nyata dari hal ini. Maria, ibu muda Yesus, menerima kabar bahwa Elisabet, kerabatnya yang tua dan mandul, juga hamil secara ajaib. Daripada merasa cemburu atau persaingan, Mary bergegas mengunjungi dan berbagi kegembiraan Elizabeth. Mendengar sapaan Maria, Isabel dipenuhi Roh Kudus dan menyadari kehebatan yang terjadi pada Maria. Kedua wanita itu berbagi kegembiraan dan rasa syukur mereka kepada Tuhan atas rencana-Nya yang luar biasa (Lukas 1:39-45).
Perikop ini mengajarkan kita bahwa berbagi sukacita adalah ungkapan kerendahan hati dan kasih timbal balik. Maria, meskipun dia dipilih untuk misi yang begitu unik, tidak mengasingkan dirinya dalam pengalamannya sendiri, tetapi prihatin dengan sukacita dan mujizat yang Allah lakukan dalam diri Elisabet. Kegembiraan mereka tidak bertentangan tetapi saling melengkapi, menunjukkan bahwa ketika kita mengakui dan menghargai karya Tuhan dalam diri orang lain, kita mengalami rasa persatuan dan persekutuan yang lebih dalam.
Sikap berbagi sukacita ini juga digaungkan dalam kata-kata Yesus dalam kisahnya yang terkenal tentang anak yang hilang. Ketika putra bungsu kembali dengan bertobat, sang ayah tidak hanya menyambutnya dengan sukacita, tetapi juga memanggil semua orang untuk merayakan pesta perayaan (Lukas 15:11-32). Kegembiraan sang ayah tidak egois, tetapi merangkul seluruh keluarga dan bahkan para pelayan. Dia berbagi kegembiraannya dengan semua orang di sekitarnya, menunjukkan cinta tanpa syarat yang tidak terbawa oleh kebencian atau kepahitan.
Saat kita merenungkan Roma 12:15, kita ditantang untuk memeriksa hati dan sikap kita terhadap sukacita orang lain. Kita harus mencari transformasi Roh Kudus sehingga kecemburuan dan keegoisan tidak memiliki tempat di hati kita, tetapi sukacita yang tulus dan sepenuh hati dapat mengalir dari kita kepada orang-orang di sekitar kita. Saat kita merangkul kasih Allah, kita belajar untuk bersukacita dengan mereka yang bersukacita, dan dengan cara itu, kita bersaksi kepada dunia tentang kasih Kristus yang mengubahkan yang berdiam di dalam kita.
Penting untuk dicatat bahwa kegembiraan bersama tidak boleh menjadi kompetisi atau perbandingan. Kita harus menghindari perasaan iri atau rendah diri ketika orang lain mengalami kegembiraan yang kita inginkan untuk diri kita sendiri. Kegembiraan orang lain tidak mengurangi kebahagiaan kita sendiri, karena kita dipanggil untuk saling mengasihi sebagaimana Kristus telah mengasihi kita (Yohanes 13:34-35).
Aku menangis dengan mereka yang menangis
Bagian kedua dari ayat tersebut memanggil kita untuk ikut menanggung beban mereka yang menderita dan menangis. Empati adalah kualitas esensial orang Kristen, karena melaluinya kita dapat menunjukkan kasih Kristus dalam situasi kesakitan dan penderitaan.
Tangisan bersama adalah ekspresi mendalam dari hubungan spiritual antara anggota tubuh Kristus. Alkitab mengajar kita bahwa kita adalah bagian dari satu tubuh, dengan Yesus sebagai kepalanya, dan semua orang percaya adalah seperti anggota tubuh yang saling berhubungan (1 Korintus 12:12-27). Namun, terlalu sering, kita cenderung hanya berfokus pada masalah dan kepentingan kita sendiri, lupa bahwa ketika salah satu anggota menderita, kita semua menderita bersama. Pemahaman ini memanggil kita untuk melihat melampaui diri kita sendiri dan mempertimbangkan kesejahteraan anggota tubuh Kristus lainnya.
Untuk mengilustrasikan prinsip ini, rasul Paulus menulis kepada jemaat di Korintus, membandingkan gereja dengan tubuh manusia. Sama seperti ketika anggota tubuh manusia terluka, seluruh tubuh merasakan sakit dan bereaksi untuk melindungi dan menyembuhkan anggota yang terluka, demikian pula dalam komunitas Kristiani. Meskipun kita mungkin tidak hadir secara fisik atau mengenal secara pribadi semua anggota gereja, kita dipanggil untuk merasakan dan berbagi dalam duka dan suka cita mereka, saling bersyafaat dan mendukung dalam doa dan tindakan.
Yesus adalah model utama dari empati dan belas kasih bagi kita. Dalam Yohanes 11:32-35, kita menemukan kisah mengharukan tentang Lazarus, seorang teman dekat Yesus, yang meninggal, meninggalkan saudara perempuannya Marta dan Maria dalam duka yang mendalam. Ketika Yesus tiba di tempat kejadian dan menemukan para saudari menangis, Dia tidak hanya menjadi emosional, tetapi juga menangis bersama mereka. Ini adalah demonstrasi yang kuat tentang bagaimana empati melampaui logika manusia dan mencapai hati Tuhan. Yesus, Putra Allah, memahami kedalaman penderitaan manusia dan menunjukkan kasih-Nya yang tanpa syarat melalui air mata-Nya.
Meskipun kita mungkin tidak sepenuhnya memahami pergumulan dan rasa sakit yang dialami orang lain, kita tidak perlu memiliki semua jawaban untuk berempati. Berada di sana dan menawarkan dukungan kita dapat menjadi balsem yang menenangkan bagi mereka yang kesakitan. Kehadiran penuh kasih ini dicontohkan dalam kisah Ayub. Dia adalah orang saleh yang menghadapi banyak tragedi dalam hidupnya, kehilangan keluarga, kesehatan, dan kekayaannya. Ketika teman-temannya mengetahui pencobaannya, mereka melakukan perjalanan jauh untuk menghibur dan meratapi dia (Ayub 2:11-13). Tindakan mereka adalah pengingat yang kuat bahwa empati membutuhkan tindakan, kasih sayang praktis, dan kemauan untuk berdiri bersama mereka yang menderita.
Empati tidak mengharuskan kita sepenuhnya memahami apa yang sedang dialami orang lain, tetapi empati memanggil kita untuk menjadi pendengar yang peka, penuh perhatian, dan pendukung aktif. Saat kita berempati, kita selaras dengan emosi dan kebutuhan orang lain, dan ini bisa menjadi katalis untuk penyembuhan emosi dan memperkuat ikatan dalam komunitas Kristen.
Maka marilah kita didorong untuk hidup dalam empati dan kasih sayang, mengikuti teladan Yesus dan mempraktekkan tangisan bersama dengan saudara-saudara kita di dalam Kristus. Semoga kita berusaha untuk peka terhadap kebutuhan emosional orang lain, memberikan dukungan, doa dan kasih kita agar tubuh Kristus dikuatkan dan dipersatukan dalam kesaksian hidup akan kasih Allah bagi dunia.
Menumbuhkan Komunitas Empati
Untuk mempraktikkan perintah Roma 12:15, penting bagi kita untuk memupuk komunitas yang berempati, di mana hubungan didasarkan pada cinta, pengertian, dan solidaritas. Ini melibatkan penghancuran penghalang yang menghalangi kita untuk benar-benar terhubung dengan orang lain dan peduli tentang suka dan duka mereka.
Namun, penting untuk ditekankan bahwa memupuk empati tidak berarti mengambil peran sebagai konselor atau pemecah masalah bagi orang lain. Kadang-kadang orang hanya membutuhkan seseorang untuk mendengarkan dan memahami tanpa penilaian atau nasihat yang tidak diminta (Amsal 18:13).
Sementara kita mungkin sibuk dengan kehidupan dan urusan kita sendiri, kita harus meluangkan waktu untuk berinvestasi dalam hubungan dengan saudara dan saudari kita di dalam Kristus. Dibutuhkan upaya dan niat untuk menunjukkan minat yang tulus pada orang lain dan peduli dengan kehidupan mereka.
Yesus Kristus adalah model utama dari empati dan kasih sayang. Dia menjalani kehidupan pelayanan, selalu siap untuk bersukacita dengan orang lain dan berbagi beban mereka. Dalam perjalanannya di bumi, Yesus menunjukkan empati dalam beberapa cara:
Namun, meskipun Ia Anak Allah, Yesus tidak ragu-ragu berhubungan dengan orang-orang yang paling terpinggirkan dan kurang beruntung, bersukacita atas keselamatan mereka (Lukas 15:1-7). Ia juga bersedih atas penderitaan manusia dan menangis bersama para pelayat (Matius 26:36-39).
Meskipun dia tahu dia akan membangkitkan Lazarus, Yesus tergerak oleh kesedihan Marta dan Maria dan menangis bersama mereka (Yohanes 11:33-35). Contoh ini mengilustrasikan bahwa meskipun mengetahui hasil dari situasi tersebut, kita masih dapat menunjukkan kasih sayang dan empati kepada orang lain di saat mereka menderita.
Panen dan Tantangan Empati
Ketika kita mempraktekkan ajaran Roma 12:15, kita menuai manfaat tidak hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk komunitas Kristen secara keseluruhan. Komunitas empati tumbuh lebih kuat dan tumbuh dalam cinta timbal balik, karena setiap anggota merasa dihargai dan dicintai.
Empati membangun kepercayaan dan hubungan yang lebih dalam di antara orang-orang. Dengan berbagi suka dan duka, kami membangun jaringan dukungan dan dorongan di mana setiap orang dapat menemukan kenyamanan pada saat dibutuhkan. (1 Tesalonika 5:11).
Namun, penting untuk diingat bahwa mengungkapkan empati tidak selalu mudah. Kita sering merasa tidak mampu atau tidak yakin bagaimana menanggapi kebutuhan emosional orang lain. Dalam situasi ini, kita dapat mencari bimbingan dari Tuhan, meminta hikmat dan kepekaan untuk menangani situasi dengan cinta dan pengertian. dan itu akan diberikan kepadanya.” (Yakobus 1:5).
Sementara kita dapat diberkati dengan berbagi sukacita dan air mata dengan saudara dan saudari kita di dalam Kristus, tujuan yang lebih besar adalah untuk memuliakan Tuhan melalui tindakan empati kita. Saat kita berusaha untuk menghormati Tuhan dalam hubungan kita, Dia memanifestasikan diri-Nya melalui kita, menyentuh kehidupan dan mengubah hati.
Terlepas dari pentingnya dan manfaat dari empati, kita menghadapi beberapa tantangan dalam mencoba untuk hidup menurut Roma 12:15. Salah satu kendala utamanya adalah keegoisan manusia yang cenderung mengutamakan kebutuhan dan keinginan sendiri sehingga merugikan orang lain (Filipi 2:3-4).
Namun, empati mengajak kita untuk mengatasi keegoisan ini dan melihat melampaui diri kita sendiri untuk kebutuhan orang-orang di sekitar kita. Ini adalah panggilan untuk keluar dari zona nyaman kita dan benar-benar terlibat dengan orang-orang.
Meskipun kita mungkin takut akan kerentanan yang ditunjukkan oleh empati kepada kita, itu penting untuk kehidupan Kristiani yang otentik. Dengan berhubungan secara emosional dengan orang lain, kita menjadi lebih peka terhadap penderitaan dan kesulitan di sekitar kita, yang bisa menyakitkan. Namun, itu juga memungkinkan kita untuk mengalami penghiburan dan anugerah Tuhan secara lebih mendalam.
Kekuatan Empati Transformatif
Empati memiliki kekuatan untuk mengubah hubungan dan komunitas. Saat kita bergembira dengan mereka yang bergembira dan menangis dengan mereka yang menangis, kita menciptakan suasana cinta dan kasih sayang yang menarik orang lain. Ini sangat berdampak di dunia yang ditandai oleh ketidakpekaan dan individualisme.
Namun, penting untuk diingat bahwa empati yang tulus bukanlah sekadar topeng atau isyarat kosong. Itu muncul dari hati yang benar-benar diubah oleh Kristus, yang menemukan sukacita dalam melayani orang lain dan menunjukkan kasih tanpa pamrih (Kolose 3:12-14).
Meskipun kita mungkin tidak mengubah seluruh dunia dengan tindakan empati kita, setiap tindakan cinta dan pengertian memiliki efek riak yang dapat memengaruhi dan menginspirasi orang lain. Ketika kita disentuh oleh kasih Tuhan, kita diberdayakan untuk menyebarkan kasih itu melalui kata-kata dan tindakan kita.
Kesimpulan
Roma 12:15 adalah ajakan untuk hidup dengan empati dan kasih sayang. Dengan bersukacita bersama mereka yang bersukacita dan menangis bersama mereka yang menangis, kita memenuhi tujuan Allah bagi komunitas Kristiani – menjadi tubuh Kristus di bumi, menunjukkan kasih-Nya kepada dunia.
Oleh karena itu, semoga kita berdoa dan memohon kekuatan Roh Kudus untuk menjalani kehidupan yang berempati, secara aktif berusaha untuk berbagi dalam suka dan duka dari mereka yang telah Tuhan tempatkan di jalan kita. Semoga hidup kita ditandai dengan kasih dan saling peduli, mencerminkan citra Kristus kepada dunia.
Marilah kita mengingat kata-kata Yesus: “Dengan inilah semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:35).